budidaya sagu


LAPORAN PRAKTIKUM
BUDIDAYA SAGU


KELOMPOK 9

Mira Aryuni                          J3W412005
Mimi Riawati                         J3W412013
Syarif Hidayatullah               J3W412036
M. Bahauddin                       J3W412033




IPB BIRU.jpg
 




PROGRAM KEAHLIAN
PRODUKSI DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN TERPADU
PROGRAM DIPLOMA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR


DAFTAR ISI







PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sagu merupakan salah satu komoditi tanaman pangan yang dapat dipergunakan sebagai sumber karbohidrat yang cukup potensial di Indonesia, khususnya di wilayah Indonesia bagian timur yang pada dasarnya sampai saat ini belum dimanfaatkan secara optimal. Dilihat dari  keanekaragamaan dan keasliannya banyak yang menyatakan sagu berasal dari Maluku dan Irian jaya karena dapat dijumpai hutan sagu dengan banyak ragamnya. Sagu ada yang berduri panjang dan ada yang tidak berduri. Jakson in Tan (1997) menyatakan bahwa penyebaran sagu hanya terbatas di wilayah Asia Tenggara. Negara produsen sagu yang dikenal terbatas pada Indonesia, Malaysia dan Papua New Guinea.
Sagu sebagai salah satu sumber karbohidrat memiliki peranan yang sangat penting pada berbagai bidang, meskipun saat ini peranan sagu masih berkembang secara tradisional dan terbatas. Di Indonesia sendiri peranan sagu sangat mendukung pelaksanaan Inpres No.20 tahun 1979 tentang usaha diversifikasi pangan, sebab sagu di Indonesia disamping potensi produksinya tinggi, sagu berpeluang besar dipakai sebagai makanan yang disukai masyarakat. Dengan teknologi pangan yang tinggi sagu dimungkinkan sebagai bahan pangan  yang lezat dan bergizi tinggi. Ditambah lagi kandungan kalori relatif sama dengan kalori jagung kering atau beras giling , bahkan dinyatakan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kalori yang dikandung oleh ubi kayu atau kentang, sehingga sagu dapat dijadikan salah satu komoditi pangan  yang dapat menjawab tantangan peningkatan kebutuhan pangan nasional dimasa mendatang.
Disamping sebagai makanan pokok, sagu juga dikonsumsi sebagai makanan pendamping seperti sagu lempeng, sinali, bagea dan lain-lain. Pada umumnya pangan tersebut diproduksi dalam skala industri kecil. Bahkan di Jawa barat sendiri hanya daunnya saja yang dimanfaatkan sebagai bahan atap. Teknologi yang digunakan dalam pengolahan  tepung sagu di Indonesia kebanyakan masih tradisional dan sebagian kecil saja yang menggunakan cara mekanis. Pengolahan sagu secara industri baru dilakukan di daerah-daerah seperti Jambi, Riau dan Sumatera Selatan. Produksinya untuk memenuhi permintaan pasar dalam negeri dan diekspor dalam jumlah terbatas.
Budidaya tanaman sagu di Indonesia pada umumya masih primitif atau dapat dikatakan masih tumbuh secara liar terutama di papua. Masih banyak petani sagu belum melaksanakan teknik budidaya sagu seperti teknik budidaya tanaman perkebunan lainnya. Sagu di Indonesia masih menuntut teknik bercocok tanam secara intensif.
Dalam pengembangan suatu jenis tanaman di Indonesia, pendekatan yang dipergunakan adalah pendekatan gizi. Disamping usaha pengadaan karbohidrat agar seiring dengan usaha pengadaan karbohidrat diproduksikan pula unsur-unsur gizi lain. Karbohidrat didapat dari tanaman penghasil karbohidrat, sedangkan protein, lemak, vitamin dan mineral dapat diambil dari sumber lain. Dalam pengembangan sagu sebagai sumber karbohidrat, lebih tepat dengan pendekatan menu yakni meski kandungan proteinnya rendah dapat diganti dengan mengkonsumsi  sumber bahan pangan lain. Mengingat sagu adalah tanaman daerah rawa maka berfungsi sebagai tempat penghasil ikan, selain itu sagu juga berperan dalam intensifikasi pemanfaatan lahan dimana lahan yang ditumbuhi tanaman sagu merupakan lahan yang komoditi lain tidak mampu untuk tumbuh dengan baik dan produktif. Mengingat konversi lahan pertanian yang semakin hari semakin tinggi perkembangannya.
Tak terbatas pada bidang pangan, sagu yang sebagian besar tumbuh secara alami memiliki multifungsi bagi kehidupan manusia, namun tanaman tersebut belum banyak diperhatikan oleh pemerintah maupun masyarakat Indonesia, bahkan terdapat kecenderungan populasinya semakin menurun. Disatu sisi pati yang dikandung dalam batang sagu dapat digunakan sebagai bahan pangan potensial, disisi lain juga digunakan untuk bahan baku agroindustri. Selain itu, tumbuhan sagu dapat beperan sebagai pengaman lingkungan karena dapat mengabsorbsi emisi gas CO2 yang ditransmisikan dari lahan rawa dan gambut ke udara. Emisi gas CO2 dan NH4 yang ditransmisikan ke udara bervariasi dari 25-200 mg/m2/jam ( Boss dan Plassche 2003). Adanya tegakan hutan sagu, gas yang ditransmisikan keudara akan berkurang karena CO2 digunakan untuk fotosintesis.
Tanaman sagu dapat  mengkonversi air tanah, karena tanaman sagu menghendaki kelembaban tanah yang tinggi. Kawasan yang kadang-kadang tergenang air sangat disukai tanaman sagu, namun apabila kawasan tersebut selalu tergenang akan mengakibatkan pertumbuhan sagu lambat dan kadar patinya rendah. Kawasan yang ditumbuhi sagu akan dipertahankan dalam keadaan lembab sebaliknya kawasan yang digunakan untuk tanaman perkebunan akan dibuat saluran drainase. Air yang ada didalam kawasan tersebut akan dialirkan ketempat lain. Oleh karena itu kawasan yang ditumbuhi sagu akan mengandung banyak air, padahal air dimasa mendatang akan menjadi masalah serius bagi manusia, hewan maupun tumbuhan.
Suatu kawasan yang tertutup rapat vegetasi termasuk vegetasi sagu akan mengakibatkan intensitas curah hujan yang tinggi namun dengan aliran permukaan yang kecil. Dengan demikian air yang tersedia bagi makhluk hidup dikawasan tersebut menjadi lebih banyak.
Apabila tegakan sagu mendominiasi pinggiran sungai akan berakibat aliran permukaan tidak masuk kedalam sungai tetapi akan dihambat sehingga aliran permukaan tersebut akan merembes kedalam tanah kemudian menjadi air tanah. Menurut Harsanto (1986) tegakan sagu yang rapat memiliki kemampuan untuk membersihkan limbah industri dan limbah domestik.
Dengan demikian, tanaman sagu sangat  bermanfaat bagi manusia. Secara umum pemanfaatan sagu dimulai dari daunnya yang dijadikan atap rumah tradisional, tulang daunya dapat dijadikan dinding, lidinya dapat dibuat sapu, kulit batangnya dapat dijadikan lantai. Empulur sagu setelah diparut dapat dijadikan pakan ternak. Apabila setelah diparut, kemudian parutan tersebut diolah lebih jauh, maka limbahnya yang berupa serat dapat dijadikan makanan ternak, media tumbuh untuk jamur atau media berbagai tanaman pertanian. Limbah cairnya dapat digunakan untuk berbagai macam keperluan, misalnya makanan pokok, bahan baku industri makanan, bahan bakar biofuel, bahan baku penyedap makanan, bahan bakku gula cair, bahan baku plastik ramah lingkungan yang dapat terurai didalam tanah, pakan ternak dan sebagai bahan baku berbagai industi lainnya.

Tujuan

- Mengetahui teknik budidaya sagu
- Mengetahui persemaian sagu di media rakit dan polybag
- Membandingkan media persemaian yang baik antara rakit dan polybag
-Mengetahui tingkat pertumbuhan tinggi , daun muncul dan persentase bibit hidup     pada sucker
- Membandingkan antara bibit < 2 kg dan > 2kg
- Mengetahui teknik penanaman bibit di lapangan












TINJAUAN PUSTAKA

A.    Klasifikasi
Pohon sagu merupakan nama umum untuk tumbuhan genus Metroxylon. Sagu (Metroxylon spp) termasuk tumbuhan monokotil dari famili Palmae, marga Metroxylon dan ordo Spadiciflorae (Ruddie et al., 1976) dalam Haryanto dan Pangloli (1992).  Metroxylon berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua suku kata, yaitu Metra berarti isi batang atau empelur dan xylon yang berarti xylem (Flach, 1977). Sagu berkembangbiak melalui tunas, akar atau biji sehingga tumbuh membentuk rumpun dan berkelompok (Louhenapessy et al. 2010).
Secara garis besar sagu digolongkan dalam dua golongan, yaitu yang berbunga atau berbuah sekali (Hapaxanthic) dan yang berbunga atau berbuah lebih dari sekali (Pleonanthic) (Deinum, 1984 dalam Djumadi, 1989).  Golongan pertama mempunyai nilai ekonomi yang penting karena kandungan acinya tinggi.  Golongan ini terdiri dari lima jenis yaitu : (1) metroxylon sagus Rottb (Sagu Molat).; (2) Metroxylon rumphii Mart (Sagu Tuni).; (3) Metroylon micracanthum Mart ( Sagu Rotan),; (4)  Metroxylon Longispinum Mart ( Sagu Makanaru),; (5)  Metroxylon sylvestre Mart (Sagu Ihur).
Dari kelima varietas diatas  yangmemiliki arti ekonomis penting adalah Ihur, Tani dan Molat. Ihur dan Tuni berduri sedangkan Molat tidak berduri sehingga disebut sagu perempuan. Sagu Tuni dan Molat enak rasanya, sedangkan sagu ihur kurang enak. Sagu Tuni dan Ihur mempunyai kesanggupan beranak yang tinggi, sedangkan sagu Molat pada umumnya anakan yang dibentuk jauh lebih sedikit ( Harsanto 1992).
Habitus Ihur dan Tuni tumbuh lebih kuat dari pada Molat, tinggi batang Ihur 10-20 m; Tuni 10-12 m dan Molat 9-10 m (Harsanto 1992).
Sedangkan golongan kedua terdiri dari spesies Metroxylon filarae dan Metroxylon elatum yang banyak tumbuh di dataran yang relatif tinggi.  Golongan ini nilai ekonominya rendah karena kandungan acinya kurang.
Taksiran luas lahan sagu di Indonesia sangat bervariasi dari waktu ke waktu. Luas lahan sagu di Indonesia adalah 1.398.000 ha, sedangkan di Maluku (provinsi Maluku dan Maluku Utara) luas lahan sagu adalah 50.000 ha (Balitbanghut 2005).
Di seluruh nusantara terdapat pohon sagu dan sagu-saguan. Daerah-daerah yang merupakan sagu utama ialah Irian Jaya, Maluku (terutama Seram dan Halmahera), Sulawesi, Kalimantan (terutama Kalimantan Barat) dan Sumatera (terutama Riau). Hutan sagu alam yang luas terdapat di sepanjang dataran rendah pantai dan muara sungai di Irian Jaya, Seram, Halmahera dan Riau. Di daerah lain hutan sagu yang ada sekarang kebanyakan merupakan kebun sagu yang meliar menjadi hutan karena tidak ada pemeliharaan (Heyne, 1950).

Di Jawa sagu tidak terdapat umum dan ditemukan secara terbatas di Banten dan di beberapa tempat sepanjang pantai utara Jawa Tengah. Di daerah Maluku Tenggara yang berhujan kurang, sagu ditemukan lebih sedikit atau tidak ada. Di Bali, Nusa Tenggara Barat dan Timur serta Timor Timur tidak terdapat sagu. Yang ada ialah sagu-saguan. (Wijandi,dkk 1981).
Komponen yang paling domonan dalam aci sagu adalah pati (karbohidrat). Pati adalah karbohidrat yang dihasilkan oleh tumbuh-tumbuhan untuk persediaan bahan makanan. Komposisi kimia dalam setiap 100 gram aci terdiri dari 355 kal kalori, 0,7 gr protein, 0,2 gr lemak, 84,7 gr karbohidrat, 14 gr air, 13 mg fosfor, 11 mg kalsium, 1,5 gr besi (Haryanto dan Philipus, 1992).
Pati sagu memiliki granula yang berbentuk elips agak terpotong dengan ukuran granula sebesar 20-60 mm dan suhu gelatinisasinya berkisar 60-72oC. Sedangkan menurut Wirakartakusumah et al., (1986) suhu gelatinisasi pati sekitar 72-90oC.
Pati sagu mengandung sekitar 27 persen amilosa dan sekitar 73 persen amilopektin. Rasio amilosa akan mempengaruhi sipat pati itu sendiri. Apabila kadar amilosa tinggi maka pati akan bersifat kering, kurang lekat dan cenderung meresap lebih banyak air (higroskopis). Amilosa mempunyai struktur lurus dengan ikatan (1-4)α – glukosa, sedangkan amilopektin mempunyai ikatan (1-6)α – glukosa seperti yang disajikan bercabang (Wiranatakusumah, dkk, 1986).
Sagu merupakan tanaman penghasil karbohidrat yang paling produktif. Tabungan karbohidrat di hutan sagu Indonesia mencapai 5 juta ton pati kering per tahun, setara dengan 3 juta kiloliter bioetanol. Mengingat habitat sagu di lahan payau dan tergenang air maka pengembangan sagu sebagai sumber energi bioetanol tidak akan membahayakan ketahanan pangan. Sekitar Danau Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua. Di tempat tersebut dijumpai keragaman plasma nutfah sagu yang paling tinggi. Areal sagu terluas terdapat di Papua (1,2 juta ha) dan Papua Nugini (1,0 juta ha) yang merupakan 90% dari total areal sagu dunia. Tanaman sagu tersebar di wilayah tropika basah Asia Tenggara dan Oseania, terutama tumbuh di lahan rawa, payau atau yang sering tergenang air. Batang sagu ditebang menjelang tanaman berbunga, saat kandungan patinya tertinggi. Setelah
Sumber tepung sagu yang utama adalah Metroxylon Sagu, yang ditemukan Asia Bagian tenggara dan Guinea Baru; lain jenis, termasuk M. salomonense dan M. amicarum ditemukan di Melanesia Dan Micronesia di mana itu lebih sedikit penting secara ekonomis sebagai sumber sagu untuk dikonsumsi. Tepung Sagu atau Metroxylon memiliki karbohidrat yang hampir murni dan mempunyai sangat kecil protein, vitamin, atau mineral. Seratus gram dari sagu kering menghasilkan 355 kalori, mencakup suatu rata-rata 94 gram karbohidrat, 0.2 gram protein, 0.5 gram dari serabut berkenaan dg aturan makan, 10mg zat kapur, 1.2mg besi/ setrika, dan sedikit karotein, thiamine, dan cuka asorbik. Sagu dapat disimpan untuk minggu atau bulan, walaupun umumnya disepakati dimakan segera setelah itu diproses (Anonim, 2008).

Menurut Alfons (2006), luas areal sagu potensial di Maluku diperkirakan sebesar 31.360 ha. Jumlah pohon masak tebang untuk kondisi hutan sagu di Indonesia adalah antara 8–36 pohon/ha dimana untuk kondisi hutan sagu di Maluku rata-rata pohon sagu masak tebang berbagai jenis sagu adalah 20 pohon/ha dan rataan produksi tiap pohon adalah 220 kg, sehingga dalam luasan satu ha dapat diproduksi 4400 kg tepung sagu (Louhenapessy 1988). Dari jumlah produksi tepung sagu diperoleh limbah padat berupa ampas sagu dalam jumlah yang besar dengan perbandingan tepung sagu dan ampas sagu 1 : 6. Hal ini berarti potensi ampas sagu tersedia cukup besar yaitu 1.320 kg per pohon yang terdiri dari campuran ampas dan sisa pati yang tidak terekstraksi (Rumalatu 1981).
Pengolahan bagian dalam batang pohon sagu menjadi bagian-bagian kecil dengan menggunakan parut yang terbuat dari bahan kayu dan paku sebagai mata parut. Pada masyarakat Akit di Pulau Rupat alat tersebut dikenal dengan sebutan pahut sagu. Masyarakat Mentawai di Pulau Siberut mencacah bagian dalam batang pohon sagu dengan alat yang disebut kukuilu. Alat ini berbentuk segitiga yang terbuat dari kayu yang diikat satu sama lain dengan menggunakan tali dari kulit kayu. Pemrosesan sari/pati sagu dan pengeringan. Pati sagu dikeluarkan dari parutan sagu dengan cara diinjak-injak dengan kaki. Kegiatan tersebut di Pulau Lingga disebut diirik, sehingga alatnya disebut juga alat pengirik yang terdiri dari langgar atau pelantar terbuat dari kayu lait, dan diberi dasar tikar sebagai wadah tempat sagu. Biasanya di dekat alat pengirik dipasang timba air yang berfungsi untuk menyiram parutan sagu yang diinjak-injak, yang terdiri dari bambu, tali, timba, dan batu pemberat. Selanjutnya pati sagu ditampung dengan ube atau uba (penampung). Alat tersebut berbahan kayu dan berbentuk menyerupai perahu pencalang. Pada ujungnya dibuat lobang tempat keluar air. Apabila uba dipenuhi air, sementara pengirikan masih berlangsung, maka air akan keluar melalui lubang tersebut, sedangkan pati sagu mengendap pada dasar uba. Hasil sagu irikan diambil dari dalam uba. Karena sagu yang dihasilkan masih kotor maka dimasukkan ke tempayan yang 2/3 diisi air laut kemudian diaduk sehingga ampas kotoran lainnya naik ke permukaan dan pati sagu mengendap di dasar tempayan (Susilowati, 2008).
Pembuatan suspensi pati dilakukan dengan langkah memasukkan aci sagu ke dalam tangki suspensi dan ditambah dengan air sampai suspensi pati mencapai konsentrasi 35 % bahan kering. Kemudian pH diatur menjadi 6,0-6,5 dengan penambahan CH3COOH. Selanjutnya suspensi pati ditambah termamyl 60 L dengan dosis satu liter (1L) untuk setiap ton bahan baku atau 0,001 ml/gram aci, sambil di aduk agar setiap bagian yang terkandung merata (Harsanto, 1986).
Untuk mendapatkan aci sagu, maka dari empelur batang sagu diperlukan ekstraksi aci dengan bantuan air sebagai perantara. Sebelumnya empelur batang dihancurkan terlebih dahulu dengan ditokok atau diparut. Ditinjau dari cara alat yang digunakan, cara ekstraksi sagu yang dilakukan di daerah-daerah penghasil sagu di Indonesia saat ini dikelompokkan secara tradisonal, ekstraksi semi mekanis dan ekstraksi secara mekanis (Pietries, 1966).


B.     Morfologi sagu
Sagu mempunyai tanda-tanda morfologi seperti Aren ( Arecha sp), perbedannya Aren tidak membentuk rumpun. Batang Aren hampir seluruhnya diliputi ijuk hitam, sedangkan sagu hanya mempunyai ijuk hitam sedikit pada pinggiran pelepah daunnya sehingga batang sagu tampak jelas, mirip pohon pinang (Harsanto 1992).
Sagu tumbuh dalam bentuk rumpun.  Setiap rumpun terdiri dari 1-8 batang sagu, pada setiap pangkal tumbuh 5-7 batang anakan.  Pada kondisi liar rumpun sagu akan melebar dengan jumlah anakan yang banyak dalam berbagai tingkat pertumbuhan (Harsanto, 1986).  Lebih lanjut Flach (1983) dalam Djumadi (1989) menyatakan bahwa sagu tumbuh berkelompok membentuk rumpun mulai dari anakan sampai tingkat pohon.  Tajuk pohon terbentuk dari pelepah yang berdaun sirip dengan tinggi pohon dewasa berkisar antara 8-17 meter tergantung dari jenis dan tempat tumbuhnya.
C.     Batang
Batang sagu merupakan bagian terpenting karena merupakan gudang penyimpanan aci atau karbohidrat yang lingkup penggunaannya dalam industri sangat luas, seperti industri pangan, pakan, alkohol dan bermacam-macam industri lainnya (Haryanto dan Pangloli, 1992).
Batang sagu berbentuk silinder yang tingginya dari permukaaan tanah sampai pangkal bunga berkisar 10-15 meter, dengan diameter batang pada bagian bawah dapat mencapai 35 sampai 50 cm (Harsanto, 1986), bahkan dapat mencapai 80 sampai 90 cm (Haryanto dan Pangloli, 1992).  Umumnya diameter batang bagian bawah agak lebih besar daripada bagian atas, dan batang bagian bawah umumnya menagndung pati lebih tinggi daripada bagian atas (Manuputty, 1954 dalam Haryanto dan Pangloli, 1992)
Pada waktu panen berat batang sagu dapat mencapai lebih dari dari 1 ton, kandungan acinya berkisar antara 15 sampai 30 persen (berat basa), sehingga satu pohon sagu mampu menghasilkan 150 sampai 300 kg aci basah (Harsanto, 1986; Haryanto danPangloli, 1992).
Menurut Harsanto (1992) tingkat pertumbuhan batang dibedakan sebagai berikut:
Tingkat semai          : tinggi batang sampai dengan 0,50m
Tingkat sapihan       : tinggi batang 0,50 m - 1,50 m
Tingkat tiang           : tinggi batang 1,50 m – 5 m
Tingkat pohon         : tinggi batang > 5 m
D.    Daun
Daun sagu berbentuk memanjang (lanceolatus), agak lebar dan berinduk tulang daun di tengah, bertangkai daun dimana antara tangkai daun dengan lebar daun terdapat ruas yang mudah dipatahkan (Harsanto, 1986).
Daun sagu mirip dengan daun kelapa mempunyai pelepah yang menyerupai daun pinang.  Pada waktu muda, pelepah tersusun secara berlapis tetapi setelah dewasa terlepas dan melekat sendiri-sendiri pada ruas batang (Harsanto, 1986; Haryanto dan Pangloli, 1992).  Menurut Flach (1983) dalam Haryanto dan Pangloli (1992) menyatakan bahwa sagu yang tumbuh pada tanah liat dengan penyinaran yang baik, pada umur dewasa memiliki 18 tangkai daun yang panjangnya sekitar 5 sampai 7 meter.  Dalam setiap tangkai sekitar 50 pasang daun yang panjangnya bervariasi antara 60 cm sampai 180 cm dan lebarnya sekitar 5 cm.
Pada waktu muda daun sagu berwarna hijau muda yang berangsur-angsur berubah menjadi hijau tua, kemudian berubah lagi menjadi coklat kemerah-merahan apabila sudah tua dan matang.  Tangkai daun yang sudah tua akan lepas dari batang (Harsanto, 1986).
E.     Bunga dan Buah
Tanaman sagu berbunga dan berbuah pada umur sekitar 10 sampai 15 tahun, tergantung jenis dan kondisi pertumbuhannya dan sesudah itu pohon akan mati (Brautlecht, 1953 dalam Haryanto dan Pangloli, 1992).  Flach (1977) menyatakan bahwa awal fase berbunga ditandai dengan keluarnya daun bendera yang ukurannya lebih pendek daripada daun-daun sebelumnya.
Bunga sagu merupakan bunga majemuk yang keluar dari ujung atau pucuk batang sagu, berwarna merah kecoklatan seperti karat (Manuputty, 1954 dalam Haryanto dan Pangloli, 1992).  Sedangkan menurut Harsanto (1986), bunga sagu tersusun dalam manggar secara rapat, berkuran secara kecil-kecil, waranya putih berbentuk seperti bunga kelapa jantan dan tidak berbau.
Bunga sagu bercabang banyak yang terdiri dari cabang primer, sekunder dan tersier (Flach, 1977).  Selanjutnya dijelaskan bahwa pada cabang tersier terdapat sepasang bunga jantan dan betina, namun bunga jantan mengeluarkan tepung sari sebelum bunga betina terbuka atau mekar.  Oleh karena itu diduga bahwa tanaman sagu adalah tanaman yang menyerbuk silang, sehingga bilamana tanaman ini tumbuh soliter jarang sekali membentuk buah.
Bilamana sagu tidak segera ditebang pada saat berbunga maka bunga akan membentuk buah.  Buah bulat kecil, bersisik dan berwarna coklat kekuningan, tersusun pada tandan mirip buah kelapa (Harsanto, 1986).  Waktu antara bunga mulai muncul sampai fase pembentukan buah diduga berlangsung sekitar dua tahun (Haryanto dan Pangloli, 1992).
Sagu budidaya merupakan tanaman menahun yang hanya berbunga atau berbuah sekali pada masa hidupnya. Setelah berbunga dan berbuah sagu akan mati ( Harsanto 1992).
Selanjutnya Haryanto dan Pangloli (1992) menjelaskan bahwa tanaman sagu akan menghasilkan anakan secara berurutan dengan pola anak beranak yang selanjutnya membentuk rumpun yang lebih luas. Jenis sagu rotan dibiarkan tumbuh secara liar dan tidak ada usaha pemeliharaan. Lebih lanjut Haryanto dan Pangloli (1992) menjelaskan bahwa populasi tanaman sagu tergantung dari jenis, daerah produksi dan perlakuan yang diberikan selama masa pertumbuhan dimana pertumbuhan sagu yang dipelihara atau dibudidayakan populasinya lebih padat dari pada yang tumbuh secara liar.

F.      Lingkungan Tumbuh Tanaman Sagu
Tanaman sagu merupakan tanaman yang dapat tumbuh baik di daerah khatulistiwa, di daerah tepi pantai dan sepanjang aliran sungai pada garis lintang antara 10˚ LU dan 10˚ LS dan pada ketinggian 300 sampai 700 meter di atas permukaan laut (dpl), mempunyai curah hujan lebih dari 2000 mm per tahun (Tan, 1982; Harsanto, 1986).
Menurut Harsanto (1986) bahwa jumlah curah hujan yang menguntungkan bagi pertumbuhan sagu diduga antara 2000 sampai 4000 mm per tahun, tersebar merata sepanjang tahun dengan temperatur rata-rata 24˚C sampai 30˚C. . Suhu optimal untuk pertumbuhan sagu berkisar antara 24,50 – 29oC dan suhu minimal 15oC, dengan kelembaban nisbi 90%.  . Sagu dapat ditanam di daerah dengan kelembaban nisbi udara 40%. Kelembaban yang optimal untuk pertumbuhannya adalah 60%.
Sagu dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, 1) belum berkembang, berdrainase baik hingga buruk yakni sulfaquent (mengandung bahan sulfidik), hidraquent ( waterlogged), tropaquent ( kawasan iklim tropika), flulvaquent ( tanah alluvial) dan psammaquent (tanah berpasir); 2) tanah sedang berkembang berdrainase baik sampai buruk tropaquent ( dikawasan iklim tropik) sari sub golongan typic (norma) dan vertic (liat), tanah gambut troposaprist ( taraf perombakan jauh), tripohenist ( taraf perombakan menengah dan sulfihemist ( mengandung bahan sulfuric , pH rendah) dan tanah alluvial yang tertimbun gambut thaptohistic ( tropic) fluvaquent ( Notohadiprawito dan Louhennapessy 1993).
Sagu paling baik bila ditanam pada tanah yang mempunyai pengaruh pasang surut, terutama bila air pasang tersebut merupakan air segar. Lingkungan yang baik untuk pertumbuhan sagu adalah daerah yang berlumpur, dimana akar napas tidak terendam, kaya mineral dan bahan organik, air tanah berwarna cokelat dan bereaksi agak asam (Flach, 1977). Selanjutnya dikatakan habitat yang demikian cocok untuk pertumbuhan mikroorganisme yang sangat berguna bagi pertumbuhan tanaman sagu.  Pada tanah-tanah yang tidak cukup mengandung mikroorganisme pertumbuhan sagu kurang baik.  Selain itu pertumbuhan sagu juga dipengaruhi oleh adanya unsur hara yang disuplai dari air tawar terutama unsur P, K, Ca, dan Mg.  Apabila akar napas sagu terendam terus menerus, maka pertumbuhan sagu terhambat dan pembentukan aci atau karbohidrat dalam batang juga terhambat.
Selain kondisi tersebut di atas, sagu juga dapat tumbuh pada tanah-tanah organik akan tetapi sagu yang tumbuh pada kondisi tanah demikian menunjukkan berbagai gejala kekahatan beberapa unsur hara tertentu yang ditandai dengan kurangnya jumlah daun dan umur sagu akan lebih panjang yaitu sekitar 15 sampai 17 tahun (Flach, 1977).  Sagu banyak juga yang tumbuh dengan baik secara alamiah pada tanah liat yang berwarna dan kaya akan bahan-bahan organik seperti di pinggir hutan mangrove atau nipah.  Selain itu, sagu juga dapat tumbuh dengan tanah vulkanik, latosol, andosol, podsolik merah kuning, alluvial, hidromorfik kelabu dan tipe-tipe tanah lainnya (Manan et al., 1984 dalam Haryanto dan Pangloli, 1992).
Tanaman sagu membutuhkan air yang cukup, namun penggenangan permanen dapat mengganggu pertumbuhan sagu. Sagu tumbuh di daerah rawa yang berair tawar atau daerah rawa yang bergambut dan di daerah sepanjang aliran sungai, sekitar sumber air, atau di hutan rawa yang kadar garamnya tidak terlalu tinggi dan tanah mineral di rawa-rawa air tawar dengan kandungan tanah liat > 70% dan bahan organik 30%. Pertumbuhan sagu yang paling baik adalah pada tanah liat kuning coklat atau hitam dengan kadar bahan organik tinggi. Sagu dapat tumbuh pada tanah vulkanik, latosol, andosol, podsolik merah kuning, alluvial, hidromorfik kelabu dan tipe-tipe tanah lainnya. Sagu mampu tumbuh pada lahan yang memiliki keasaman tinggi. Pertumbuhan yang paling baik terjadi pada tanah yang kadar bahan organiknya tinggi dan bereaksi sedikit asam pH 5,5 – 6,5.
Lingkungan tumbuh tanaman sagu secara umum:
    • Berlumpur
    • Kaya mineral
    • Kaya bahan organik
    • Air tanah berwarna coklat, dan
    • Bereaksi agak masam à pH 5,5-6,5
Menurut Turukay (1986) 43% luasan sagu terdapat dilahan kering yang lembab, 30% dirawa dan sisanya ditepi sungai. Menurut Notohadiprawiro dan Louhennapessy (1993) habitat asli sagu ialah tepi parit atau sungai yang becek serta berlumpur tetapi secara berkala mongering. Pada lahan keing yang lembab, tanaman sagu kalah bersaing dengan tumbuhan hutan lainnya, akibatnya jumlah anakan berkurang. Namun demikian kadar patinya tinggi (Flach 1997).

Tanaman sagu merupakan tanaman yang berkembangbiak dengan menghasilkan anakan. Dalam satu indukan tanaman sagu mampu menghasilkan anakan yang cukup banyak. Pada umur 4-5 tahun, anakan sagu mulai membentuk batang, kemudian pada sekitar batang bagian bawah tumbuh tunas-tunas yang berkembang menjadi anakan (sucker) (Bintoro, 2008). Flach (1983) dalam Bintoro (2008) mengatakan, pada kondisi tanaman yang baik setiap 3-4 tahun dua anakan akan berkembang menjadi pohon.
Flach et al (1986) mengemukakan lima fase pertumbuhan sagu  1) fase awal yaitu dari perkecambahan sampai dua tahun pertama; 2) fase roset yang dimulai dari dua daun pertama sampai daun dewasa pertama yakni 3,5 – 4 tahun; 3) fase pertumbuhan batang; 4) fase pembentukan buah; 5) fase pembentukan buah.
Pietries (1966) dan Louhennapessy (1993) membagi enam fase pertumbuhan yaitu fase semai/anakan; fase sapihan; fase tihang; fase pohon dan fase masak tebang dan fase lewat masa tebang, sedangkan fase masak tebang terdiri atas fase putus duri, fase daun pendek, fase jantng dan fase sirih buah.

G.                Perbanyakan Tanaman Sagu
            Teknologi perbanyakan tanaman sagu dapat dilakuan dengan metode generatif dan vegetatif. Secara generatif yaitu dengan menggunakan biji yang berasal dari buah yang sudah tua dan rontok dari pohonnya. Biji yang digunakan  adalah biji yang berasal dari pohon induk yang baik, yang subur dan produksinya tinggi.
Perbanyakan tanaman sagu secara vegetatif dapat dilakukan dengan menggunakan bibit berupa anakan yang melekat pada pangkal batang induknya yang disebut dangkel atau abut (jangan yang berasal dari stolon).
Syarat bibit untuk pembibitan cara generatif adalah biji yang digunakan sudah tua, tidak cacat fisik, besarnya rata-rata dan bertunas. Syarat bibit untuk pembibitan cara vegetatif adalah berasal dari tunas atau anakan yang umurnya kurang dari 1 tahun, dengan diameter 10-13 cm dan berat 2-3 kg. Tinggi anakan +1 meter dan punya pucuk daun 3-4 lembar.
Penyiapan Benih atau Bibit
a). Cara generatif
Pembiakan generatif dalah pembiakan dengan menggunakan benih. Pembiakan generative memiliki beberapa kelemahan antara lain daya kecambah rendah dan tanaman hasil pembiakan generatif  belum tentu sama dengan tanaman induknya.
Biji yang digunakan berasal dari buah yang sudah tua dan jatuh/rontok dari pohon induk yang baik, yaitu subur dan produksinya tinggi, tumbuh pada lahan yang wajar serta produksi klon rata-rata tinggi. Biji/buah yang diambil tersebut adalah
Usman (1996) telah mencoba mengecambahkan benih sagu tanpa dibuang kulitnya dibandingkan benih yang dibuang kulitnya. Kedua macam benih tersebut diberi perlakuan perendaman air 24 jam, diolesi zat pengatur tumbuh dan direndam selama 8 – 40 jam. Benih tanpa dikupas kulitnya kemudian direndam air hanya berkecambah 1,43 % sedang benih yang direndam ZPT daya kecambahnya mencapai 4-5 %. Benih yang dikupas kulitnya dapat berkecambah lebih banyak yaitu4 - 6 %.
b). Cara Vegetatif
 Pembiakan secara vegetatif dapat dilakukan dengan menggunakan bibit berupa anakan yang melekat pada pangkal batang induknya. Anakan sagu yang akan digunakan sebagai biibit hendaknya diambil dari induk sagu yang produksi patinya tinggi, bibit masih segar dengan pelepah daun masih hijau, bibit sudah cukup tua dicirikan dengan bonggol/banir yang cukup keras, pelepah dan daun masih hidup, mempunyai perakaran cukup, panjang pelepah minimal 30 cm, dna tidak terserang hama penyakit serta banir berbentuk L ( Bintoro 2008).
 Adapun cara pengadaan adalah sebagai berikut :
  1. Pengambilan dengkel dipilih yang terletak di permukaan atas.
  2. Pemotongan dilakukan di sisi kiri dan kanan sedalam 30 cm, tanpa membuang akar serabutnya.
  3. Dangkel yang telah dipotong, dibersihkan dari daun-daun dan ditempatkan pada tempat  yang mendapat cahaya matahari langsung dengan bagian permukaan belahan tepat pada tempat di mana cahaya matahari jatuh, selama 1 jam.
  4. Luka bekas irisan dangkel yang msih tertanam segera dilumuri dengan zat penutup luka (seperti : TB-1982 atau Acid Free Coalteer) untuk mencegah hama dan penyakit.
  5. Bibit sagu direndam dalam air aerobic selama 3-4 minggu. Setelah itu bibit ditanam.
  6. Penyiapan dangkel sebaiknya dilakukan pada waktu menjelang sore hari, kemudian pada sore hari dangkel dikumpulkan dan pada waktu malam hari diangkut ke lahan, untuk menghindari kerusakan dangkel oleh cahaya matahari.
Setelah 3 bulan dipersemaian bibit diangkut dan dipindahkan ke lapangan tempat dilakukanya penanaman. Pada penanaman dilapangan, terlebih dahulu di-lakukan pengajiran hal ini dimaksud untuk menandai tempat dibuatnya lubang tanam beserta penentuan jarak tanam. Jarak tanam antar ajir 10 m x 10 m bila pada kebun diusahakan sistem tanam monokultur, tetapi bila diusahakan dengan tumpang sari jarak tanam yang digunakan antar ajir 10 m x 15 m (Bintoro, 2008).

METODELOGI KERJA

Penanaman Bibit Sagu pada Persemaian Rakit
Waktu dan Tempat
 Percobaan di laksanakam pada hari sabtu, 14 september 2013 di lahan budidaya sagu kampus Gunung gede program diploma IPB.
Bahan dan Alat
 Bahan yang di gunakan dalam percobaan pertama adalah sukcer dengan bobot kurang dari 2 kg dan 2-4 kg yang diambil dari tanaman sagu dewasa, antracol ( fungisida) dan air. Alat yang digunakan adalah bambu, pisau atau golok, kawat, paku, tali, ember, gergaji dan peralatan budidaya lainnya.
Metode percobaan
Percobaan dilaksanakan menggunakan rencana percobaan acak kelompok dengan ulangan  20 dan 40 satuan percobaan. Perlakuan yang diberikan adalah media rakit dengan bobot sucker < 2 kg dan media rakit dengan bobot sucker 2-4 kg.
Pelaksanaan percobaan
Pengambilan sucker
Sucker bentuk “L” diambil dari induk sagu dengan kriteria :
1.        Diambil dari tanaman induk yang telah dupanen.
2.        Berasal dari jenis sagu molat (tidak berduri).
3.        Bobot sucker sagu < 2kg dan 2-4 kg.
4.        Bebas dari serangan hama dan penyakit.
5.        Sucker dibersihkan dari tanah yang  masih menempel.
6.        Akar sucker dipangkas dan disisakan kurang lebih 4-5 cm.
7.        Bagian tajuk sucker dipangkas hingga panjangnya 30 cm dari banirnya.
Sucker diletakkan pada tempat teduh yang terhindar dari sinar matahari langsung untuk menghindari transpirasi yang berlebihan sebelum bibit dipindahkan kepersemaian. Pemangkasan akar bertujuan untuk mempercepat terinduksinya akar-akar baru yang bermanfaat bagi bibit sagu. Pemangkasan tajuk ditujukan untuk menhindari transpirasi berlebihan dan mempercepat tumbuhnya tunas daun baru pada sucker saat persemaian.


Pembuatan rakit
 Sebelum persemaian bibit sagu, terlebih dahulu dibuat media rakit dari potongan bambu dengan ukuran 2,5 m x 1 m x 30 cm. Potongan bambu disusun bertingkat dengan 3 bagian. Potongan bambu yang dibutuhkan untuk membuat satu rakit adalah potongan bambu ukuran 160 cm sebanyak 4 batang untuk tiang , Potongan bambu ukuran 100 cm sebanyak 4 batang untuk lebar rakit, Potongan bambu ukuran 135 cm sebanyak 5 batang, belah menjadi 9 bagian untuk panjang rakit dan 14 belahan kecil bambu ukuran 85 cm. Selanjutnya lubang dibuat pada tiang, kemudian bambu panjang dan lebar rakit dimasukkan kedalamnya. Belahan bambu ukuran 85 cm dipasang secara melintang dan sejajar diatas bambu panjang serta belahan bambu ukuran 235 cm dipasang secara membujur. Rakit disusun  menggunakan paku dan kawat agar kokoh. Setelah rakit siap rakit dimasukkan kedalam kolam yang telah disiapkan.
Persemaian
Sebelum sucker diletakkan pada persemaian rakit, terlebih dahulu sucker direndam dalam fungisida ( antracol ) selama 5 menit dengan konsentrasi 2 g/liter air. Kemudian sucker diletakkan ( ditanam ) diatas rakit dengan posisi akar terendam air. Lama persemaian untuk sucker sagu yaitu 3-4 bulan atau sampai keluar 3-4 daun baru dengan perakaran yang banyak.

Pemeliharaan
Bibit yang telah ditanam pada rakit dijaga agar tetap tegak. Ketinggian air kolam diatur agar tetap menggenangi akar dan tidak melewati leher banir. Bibit yang mati dipindahkan dari rakit/dibuang.
Pengamatan
Setiap minggu bibit yang telah disemai diamati dan diukur. Peubah yang diamati adalah :
1.        Daya tumbuh (%)
Daya tumbuh bibit dihitung berdasarkan jumlah bibit yang bertahan hidup dan tumbuh dengan baik untuk setiap perlakuan sampai kemunculan daun ketiga dengan rumus :
Daya tumbuh
2.        Jumlah daun
Daun dan anak daun yang tumbuh dihitung setiap minggu.

Penanaman Bibit Sagu pada Persemaian Polibag
Waktu dan Tempat
Percobaan akan dilaksanakan pada tanggal 21 september 2013 dikebun percobaan program diploma IPB.

Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam percobaan pertama adalah sucker sagu dengan bobot < 2kg dan 2-4 kg yang diambil dari tanaman sagu yang telah dewasa,  pupuk kandang, pupuk N, (dosis 0,3 dan 6 g/sucker). Pupuk P dan K diberikan untuk keseluruhan satuan percobaan. Alat yang digunakan adalah  polibag, bambu, parang, cangkul, kored dan gembor.
Metode Percobaan
Percobaan dilaksanakan menggunakan rancangan percobaan acak  kelompok dengan dua faktor. Faktor yang pertama adalah pemberian dosis pupuk N yang terdiri atas 3 taraf yaitu 0,3 dan 6 g/bibit.  Faktor yang kedua yaitu bobot sucker yaitu < 2 kg dan 2-4 kg.
Berdasarkan kombinasi dari taraf tiap-tiap faktor maksimal didapatkan 6 perlakuan sebagai berikut.
1.      Sucker bobot < 2kg tanpa pemupukan N.
2.      Sucker bobot < 2kg dosis n 3 gram per bibit.
3.      Sucker bobot < 2 kg dosis 6 gram per bibit.
4.      Sucker bobot 2-4 kg tanpa pemupukan N.
5.      Sucker bobot 2-4 kg dosis N 3 gram per bibit.
6.      Sucker bobot 2-4 kg dosis N 6 gram per bibit.
Populasi setiap unit percobaan sebanyak 20 sucker sehingga dibutuhkan 360 sucker.
Pelaksanaan Percobaan
Persemaian di polibag.
Komposisi media tanam terdiri atas tanah dan pupuk kandang dengan perbandingan 1:1. Pupuk kandang yang digunakan adalah kotoran sapi yang telah terdekomposisi sempurna. Tanah dan pupuk kandang dicampur hingga rata dan dimasukkan kedalam polibag yang berukuran 40 x 40 cm.


Penanaman
Sebelum ditanam, sucker dicelupkan terlebih dahulu kedalam larutan fungisida selama 5 menit dengan konsentrasi 2 g/l air. Kemudian sucker ditanam dengan tahapan penanaman sebagai berikut.
a.       Isi polibag dengan media tanam sebanyak 1/2 bagian.
b.      Daun sucker sagu dipangkas dan disisakan 30-40 cm.
c.       Akar sucker sagu juga dipangkas dan disisakan 5-10 cm.
d.      Sucker dimasukkan kedalam polibag.
e.       Tambahkan furadan sebagai fungisida.
f.       Timbun bibit dengan tanah ( tidan melewati leher banir ).
g.      Polibag disusun di tempat teduh sesuai perlakuan.
h.      Semprotkan fungisida dengan dosis 2 gram per liter air.
Pemupukan
            Pada 2 MST, Pupuk N, P, K diaplikasikan sesuai dengan perlakuan dengan cara ditaburkan secara melingkar sekitar 4 cm dari bagian banir bibit, kemudian ditutup dengan tanah. Dosis pupuk P dan K adalah 5 gram per bibit.
Pemeliharaan
            Penyiraman dilakukan setiap hari ( pagi dan sore ) agar bibit tidak kering. Selain penyiraman, dilakukan juga pembersihan gulma dan pemberian fungisida. Bibit yang mati dipindahkan dan dibuang.
Pengamatan
Bibit yang telah ditanam kemudian diamati setiap minggu. Peubah yang diamati yaitu.
1.        Daya tumbuh (%)
Persentase hidup bibit dihitung berdasarkan jumlah bibit yang bertahan hidup dan tumbuh untuk setiap perlakuan sampai kemunculan daun ketiga dengan rumus :

            Daya tumbuh x100 %

2.        Jumlah daun
Jumlah daun yang diamati adalah daun yang telah membuka secara sempurna. Pengamatan dilakukan setiap minggu.
3.        Panjang akar
Panjang akar diukur pada panjang akar terpanjang. Pengamatan dilakukan pada akhir percobaan.
Penanaman Bibit Sagu
Bahan dan Metode
Penanaman di laksanakan pada tanggal 7 Desember 2013 dilahan budidaya tanaman sagu program diploma IPB
Bahan dan Alat
 Bahan yang digunakan dalam penamanan adalah bibit sagu dengan bobot <2 kg yang tlah tumbuh daun secara sempurna. Bibit diambil dari tanaman sagu yang dewasa dan pupuk SP- 36  sebanyak 5 gr dan furadan untuk masing - masing satuan percobaan. Alat yang digunakan adalah, gunting, cangkul, alat tulis dan ajir.
 Metode percobaan
Bibit dengan bobot < 2 kg ditanam pada lahan percobaan dengan dua perlakuan (rasio 50:50). Perlakuan pertama adalah  bibit ditanam dengan cara di beri sungkup atau tutup dengan kertas karton sedangkan perlakuan yang kedua yaitu bibit  tidak diberi sungkup/ tutup. Setiap perlakuan di ulang 3 kali sehingga  dibutuhkan  30 bibit  dengan bobot  <2 kg.
 Pelaksanaan percobaan

Pembuatan lubang tanam

            Sebelum penanaman, terlebih dahulu lubang tanam disiapkan. Lubang tanam dibuat dengan ukuran pxlxt 30cmx30cmx30cm dan jarak antar lubang 8mx8m. Top soil dan sub soil dipisah untuk penimbunan. Lubang dibiarkan selama satu minggu agar bahan organik tersedia kembali.

Penanaman

            Bibit sagu yang  ditanam harus sudah memiliki 2-3 helai daun baru. Sucker yang memiliki  banyak pelepah di potong dan disisakan tiga batang pelepsh serts dsun pada bibit dipotong setengah untuk mengurangi transpirasi.h disiapkan sebelumnya. Ukuran lubang tanam yang dibuat adalah 30 cm x 30 cm x 30 cm. Penanaman dilakukan dengan membenamkan banir kedalam lubang tanam. Furadan diberikan sebagai fungisida. Bibit sagu ditanam tegak dan diberi palang untuk memperkokoh bibit kemudian bibit ditimbun dengan top soil terlebih dahulu (karena dalam top soil terkandung lebih banyak bahan organik) kemudian sub soil diatasnya. Leher banir tidak boleh tertimbun tanah agar terhindar dari pembusukan. Pada perlakuan ditutup kertas, bibit yang telah ditanam kemudian ditutup dengan sungkup dari kertas karton yang telah disiapkan.

Pengamatan

 Pada minggu berikutnya , bibit yang telah ditanam kemudian diamati hidup/tidaknya dan dihitung daya tumbuh dengan rumus berikut.

 Daya tumbuh bibit











HASIL DAN PEMBAHASAN

Polybag

Melihat pentingnya tanaman sagu dewasa ini dan masa yang akan datang, seiring dengan meningkatnya kebutuhan penduduk dunia akan pangan dan energi, maka perlu dipikirkan usaha peningkatan kualitas dan kuantitas produksi sagu secara tepat agar sasaran yang diinginkan dapat tercapai. Salah satu diantaranya adalah bahan perbanyakan tanaman berupa bibit, untuk itu perlu tindakan kultur teknis atau perawatan bibit yang baik antara lain dengan jalan pemupukan pada waktu di pembibitan. Pembibitan memungkinkan pemilihan bibit yang sehat untuk ditanam di lapangan, sehingga akan sangat meningkatkan kelangsungan hidup bibit transplantasi dan meningkatkan keseragaman pertumbuhan sagu. Percobaan bertujuan untuk mempelajari pengaruh dan mencari dosis pupuk N yang memberikan hasil terbaik terhadap pertumbuhan awal bibit sagu di persemaian dengan sistem polibag.
Perlakuan
Tinggi Tanaman (cm)
Rata-rata
U1
U2
U3
U4
U5
U6
U7
U8
< 2kg 0 g N/sucker
33,7
33,5
39
26,3
27,7
31,7
31,7
20,3
30,5
< 2 kg N 3g/sucker
25,7
34,4
39,5
-
-
-
-
-
33,2
< 2 kg N 6g/sucker
36,7
28,5
39,3
-
-
-
-
-
34,8










2-4 kg -N
-
-
-
-
-
-
-
-
-
2-4 kg N 3g/sucker
42,1
42,9
-
-
-
-
-
-
42,5
2-4 kg N 6g/sucker
-







-

Pada tabel diatas dapat diketahui bahwa rata- rata tinggi tanaman tertinggi pada bibit < 2 kg berada pada bibit dengan perlakuan dosis pupuk N 6 g/ polybag yaitu 34,8 cm, tertinggi kedua pada bibit perlakuan dosis pupuk N 3g/polybag yaitu 33,2 cm dan tinggi tanaman terendah berada pada bibit perlakuan tanpa pupuk yaitu 30,5 cm. Namun dari ketiga perlakuan tidak menunjukkan perbedaan nyata. Bibit dengan perlakuan tanpa pupuk N memiliki tinggi rata- rata hampir sama dengan bibit dengan pemberian pupuk. Hal ini berarti pemupukan tidak terlalu berpengaruh terhadap pertumbuhan tinggi tanaman. Pemupukan bahkan menjadikan tanaman manja sehingga akar kurang berkembang dan tunas lambat terbentuk. Padahal tanaman sagu sendiri tidak bersifat manja dan bisa hidup dilahan marjinal.
Untuk bibit yang berukuran > 2 kg memiliki tinggi rata-rata 42,5 cm. Bibit > 2 kg menunjukkan pertumbuhan tinggi yang lebih cepat daripada bibit berukuran < 2 kg. Hal ini disebabkan bibit yang berukuran > 2 kg memiliki daya tumbuh yang lebih baik, tahan terhadap serangan hama dan lebih mampu menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan. Selain itu, bibit yang berukuran > 2 kg memiliki banir yang lebih besar sehingga cadangan makanannya lebih banyak dan mencukupi untuk pertumbuhan bibit tersebut. Jadi dapat dikatakan bahwa bibit berukuran > 2kg memiliki pertumbuhan tinggi yang lebih baik daripada bibit berukuran < 2kg.
Perlakuan
Persentase Muncul Daun (%)
Rata-rata
U1
U2
U3
U4
U5
U6
U7
U8
<2kg -N
33,8
0
13,6
0
0
26,9
0
0
9,3
< 2 kg N 3g/sucker
0
0
0
-
-
-
-
-
0
< 2 kg N 6g/sucker
29,2
0
0
-
-
-
-
-
9,7










2-4 kg -N
-
-
-
-
-
-
-
-
-
2-4 kg N 3g/sucker
17,4
38,2
-
-
-
-
-
-
27,8
2-4 kg N 6g/sucker
-
-
-
-
-
-
-
-
-

Daun merupakan salah satu organ yang dimiliki tanaman yang bermanfaat untuk melakukan sebagian besar kegiatan pengubahan ikatan-ikatan kimia sehingga dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Daun memiliki stomata dan klorofil yang berfungsi saat daun akan melakukan fotosintesis.
Klorofil atau biasa disebut dengan zat hijau daun, menjadi bagian dari daun yang menyerap radiasi matahari. Agar dapat memanfaatkan radiasi matahari secara efisien, tanaman budidaya harus dapat menyerap sebagian besar radiasi tersebut dengan jaringan fotositesisnya yang hijau.
Spesies tanaman budidaya yang efisien cenderung menginvestasikan sebagian besar awal pertumbuhan mereka dalam bentuk penambahan luas daun, yang berakibat pemanfaatan radiasi matahari yang efisien. Perkembangan luas daun pada tanaman budidaya menyebabkan peningkatan penyerapan cahaya oleh daun. Penyerapan radiasi tersebut dipengaruhi oleh indeks luas daun pada tanaman (Leaf Area Index). Indeks luas daun menunjukan rasio permukaan daun terhadap luas tanah yang ditempati oleh tanaman budidaya. Daun menyerap cahaya matahari langsung maupun tidak langsung.
Dari tabel persentase daun muncul bobot sucker < 2 kg dapat diketahui bahwa pada perlakuan 0 g N data tertinggi terdapat pada ulangan pertama kelompok 1 yaitu 33,8 % . Pada perlakuan 3 g N  tidak ada data daun muncul. Perlakuan ketiga yaitu perlakuan 6 g N hanya ada satu data yaitu pada ulangan 1 yakni 29,2%. Secara rata-rata persentase daun muncul tertinggi berada pada bibit < 2 kg sebesar 9,7%, sedangkan pada bibit <2kg tanpa N hanya sebesar 9,3%. Penggunaan pupuk N ini tidak memberikan pengaruh nyata dikarenakan selama pratikum bibit tersebut kering atau kekurangan air sehingga tidak memungkinkan muncul daun bahkan jika daun muncul akan mengering dan mati.
Sedangkan untuk bibit > 2kg  hanya terdapat dua ulangan pada perlakuan pupuk N 3 g/polybag. Dengan demikian rata-rata persentase daun muncul sebesar 27,8%. Pada kenyataannya kita tidak bisa membandingkan manakah ukuran bibit dan dengan perlakuan apakah yang paling baik digunakan dalam budidaya. Hal ini disebabkan tidak seimbangnya ulangan serta perlakuan yang diujicobakan. Namun, bibit yang berukuran besar biasanya lebih unggul.



Perlakuan
Persentase Bibit Hidup  (%)
Rata-rata
U1
U2
U3
U4
U5
U6
U7
U8
<2kg -N
55,6
39,4
48,9
32,2
30,5
46,7
46,7
66,2
45,8
< 2 kg N 3g/sucker
28,9
23,3
68,3
-
-
-
-
-
40,2
< 2 kg N 6g/sucker
35,5
27,2
28,3
-
-
-
-
-
30,3










2-4 kg -N
-
-
-
-
-
-
-
-
-
2-4 kg N 3g/sucker
57
43,3
-
-
-
-
-
-
50,2
2-4 kg N 6g/sucker
-
-
-
-
-
-
-
-
-

Dari tabel persentase bibit hidup anakan bobot < 2 kg dapat diketahui bahwa pada perlakuan 0 g N data tertinggi terdapat pada ulangan pertama dengan nilai 55,56% dan data terendahnya terdapat pada ulangan kelima dengan nilai 30,5%. Pada perlakuan 3 g N data tertinggi terdapat pada perlakuan kedelapan dengan nilai 68,33% dan data terendah terendah terdapat pada perlakuan ketiga dengan nilai 23,33%. Perlakuan ketiga yaitu perlakuan 6 g N data tertinggi terdapat pada ulangan pertama dengan nilai 35,56% dan data terendah terdapat pada ulangan kedua dengan nilai 27,22%.  Dari ketiga perlakuan tersebut rata-rata persentase bibit hidup tertinggi berada pada perlakuan bibit tanpa N dengan nilai 45,8 %.  Persentase bibit hidup tertinggi kedua berada pada perlakuan 40,2 % dan persentase bibit hidup terendah terdapat pada perlakuan pupuk N 6 g/polybag. Hal ini menunjukkan tanah yang digunakan sudah cukup subur dimana persentase bibit hidup tanpa perlakuan N  menunjukkan angka yang lebih tinggi.
Untuk bibit > 2kg, dari tabel persentase bibit hidup anakan diketahui bahwa pada hanya terdapat satu perlakuan yakni dengan pemberian pupuk N 3 g/polybag dan hanya dua ulangan saja. Persentase bibit hidup tertinggi terdapat pada ulangan pertama yakni 57%. Hal ini didukung dengan manajemen pemeliharaan yang lebih baik ketimbang manajemen dari ulangan kedua.
Untuk perbandingan antara penggunaan bibit berdasarkan ukuran anakan dapat disimpulkan bahwa penggunaan anakan > 2kg lebih baik daripada bibit < 2kg . Hal ini dibuktikan dari tingkat persentase bibit hidup  yang ditunjukannya. Dimana bibit > 2kg memiliki persentase tertinggi 50,2 % dibandingkan bibit < 2kg hanya memiliki persentase tertinggi sebesar 45,8%.
Dari hasil percobaan pemberian pupuk pada bibit sagu dengan dosis  3 dan 6 gram tiap polybag memberikan pengaruh tidak berbeda nyata terhadap pertumbuhan awal bibit sagu tanpa pemberian pupuk N. Dari ketiga parameter yakni tinggi bibit, persentase hidup bibit maupun persentase daun muncul pada bibit yang diberikan pupuk N tidak menunjukkan perubahan maupun perbedaan dengan bibit yang diberi perlakuan kontrol. Sagu memang membutuhkan unsur hara dalam pertumbuhannya, dengan tercukupi unsur hara maka akan mendorong tingkat pertumbuhan dari bibit sagu tersebut. Namun, jika kekurangan akan menyebabkan pertumbuhan bibit terhambat sedangkan jika kelebihan akan menyebabkan keracunan sehingga bibit sagu tersebut akan mengalami kematian atau bahkan kerdil. Faktor lain yang ikut mempengaruhi tidak berpengaruhnya pemupukan N dari sisi jenis tanaman yaitu sagu merupakan tanaman tahunan sehingga pengaruh pemupukan tidak dapat langsung terlihat dalam waktu singkat. Pertumbuhan awal bibit sagu juga masih dipengaruhi oleh cadangan makanan pada banir dan pengaruh lingkungan yang kurang mendukung bagi pertumbuhan bibit sagu, dimana kurangnya intensitas penyinaran matahari serta tanah yang digunakan. Selain itu, kurangnya pemeliharaan juga menjadi faktor pembatas dalam pertumbuhan bibit.
Untuk perbandingan antara bibit < 2kg dan > 2 kg dari segi tinggi, persentase bibit hidup dan persentase daun muncul menunjukkan perbedaan yang signifikan. Bibit yang berukuran lebih besar memiliki tingkat pertumbuhan dan perkembangan yang lebih baik. Hal ini dibuktikan dengan bibit yang besar lebih banyak hidup, lebih tinggi tanamannya serta telah muncul daun, berbanding terbalik dengan bibit yang berukuran kecil. Bibit yang besar pada umumnya telah memiliki perakaran yang kuat dan banyak sehingga unsur hara dapat tercukupi yang mana dapat menopang pertumbuhan bibit tersebut. Dengan demikan, bibit yang berukuran > 2kg lebih baik dan menjamin daripada bibit yang berukuran < 2kg.

Rakit

Penyemaian merupakan suatu tindakan budidaya tanaman yang diantaranya bertujuan untuk mempercepat pertumbuhan vegetatif suatu bibit di dalam suatu wadah atau tempat tertentu dengan suatu tindakan pemeliharaan tertentu. Sebelum persemaian, daun tua dipangkas lebih dahulu dengan ketinggian pangkasan 30-50 cm dari banir agar transpirasi dapat ditekan dan untuk mempercepat pemunculan calon tunas pertama yang selanjutnya akan menjadi daun. Bibit sagu kemudian dicelupkan pada larutan fungisida. Dalam pratikum kali ini menggunakan Antracol dengan dosis 2 g/l air. Bibit direndam selama 5 menit lalu dikeringanginkan agar fungisida dapt meresap.
Persemaian bibit sagu dilakukan dengan menggunakan sistem kanal. Beberapa keuntungan persemaian dengan menggunakan sistem kanal (air sebagai media) yaitu untuk menghindari serangan hama ulat sagu yang menyerang titik tumbuh sewaktu bibit terdapat di luar, pemeliharaan yang dilakukan lebih sedikit, selain itu ketersediaan air merupakan syarat mutlak bagi pertumbuhan tanaman sagu, sehingga akan menghasilkan nilai kemampuan tumbuh yang lebih tinggi. Bibit disemai dalam suatu rakit yang terbuat dari pelepah sagu yang telah gugur yang berukuran 0.5 m x 3 m. Setiap rakit dapat menampung 70-80 bibit. Hal ini bertujuan agar sewaktu bibit sudah berumur tiga bulan dan siap ditanam, rakit lebih ringan dan dapat ditarik dengan mudah menuju ke petak-petak yang akan ditanam maupun disulam. Penyemaian bibit yang terlalu lama menyebabkan bibit menjadi besar dan sulit untuk dicabut. Bibit yang bagus dalam waktu tiga bulan setelah semai akan keluar dua sampai tiga helai daun. Bibit sagu yang bagus untuk disemai mempunyai ciri-ciri antara lain bibit masih baru yakni dicirikan oleh pelepah yang berwama hijau tua, tidak terkena serangan hama dan penyakit, panjang pelepah minimal 30 cm, mempunyai perakaran yang cukup, bibit sudah berumur agak tua dicirikan oleh kerasnya banir (bonggol bibit). Di persemaian, pertumbuhan bibit sagu sering dijumpai tidak seragam. Perbedaan pertumbuhan tiap-tiap bibit di persemaian selain ditentukan oleh bagus tidaknya suatu bibit, juga ditentukan oleh ukuran bobot bibit, lama waktu penyimpanan dan umur bibit. Ukuran bobot bibit berpengaruh terhadap banyak tidaknya kandungan pati yang ada di dalam bonggol (banir) bibit. Kandungan pati yang terdapat di dalam banir akan berfungsi sebagai cadangan makanan yang dibutuhkan pada saat pertumbuhan terutama untuk pembentukan bagian vegetatif bibit pada saat di persemaian
Bibit yang disemai pada musim hujan memiliki daya tumbuh yang lebih baik bila dibandingkan dengan bibit yang disemai pada musim kemarau. Hal ini disebabkan bibit yang disemai pada musim kemarau tunas daunnya lebih cepat mongering dan sukar tumbuh.
Berikut tabel hasil pengamatan bibit di rakit dengan ukuran  bibit < 2kg dan > 2kg
Perlakuan
Tinggi Tanaman (cm)
Rata-rata
U1
U2
U3
U4
U5
U6
U7
U8
U9
U10
< 2kg
54,3
59,2
52,4
46,2
48,6
53,2
36,4
36,4
38,5
38,5
46,37
>2kg
61,4
46,5
46,7
-
-
-
-
-
-

51,5

            Pada tabel diatas dapat diketahui bahwa terdapat dua perlakuan dirakit yakni bibit <2kg dan bibit >2kg.  Pada bibit < 2kg tinggi maksimal yang dapat dicapai adalah 59,22 cm sedangkan pada bibit >2kg tinggi maksimal yang dapat dicapai adalah 61,4 cm. Rata- rata bibit > 2kg menunjukkan pertumbuhan yang lebih tinggi daripada bibit berukuran < 2kg yakni 51,5 cm berbanding 46,37 cm. Hal ini karena bibit yang berukuran besar lebih tahan dan kelangsungan hidup serta pertumbuhan hidupnya tinggi. Namun  dalam persemaian bibit dirakit masih jauh dari kata layak dimana posisi bibit tidak teratur dalam rakit, air menggenangi akar nafas serta kurangnya pemeliharaan. Sehingga cadangan makanan yang diperoleh rakit hanya cukup untuk hidup tanpa digunakan untuk pertumbuhan. Dalam pratikum ini juga banyak ditemukan kasus bibit yang busuk sehingga mati dan dibuang.


Perlakuan
Persentase Muncul Daun (%)
Rata-rata
U1
U2
U3
U4
U5
U6
U7
U8
U9
U10
< 2kg
0
0
17,4
0
19
14,2
14,2
16,9
16,9
0
22,64
>2kg
35,2
85,8
0
-
-
-
-
-
-
-
60,5

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa bibit < 2kg terdapat  10 ulangan. Persentase  muncul daun tertinggi berada pada ulangan VIII dan IX yakni 16,9 %.  Sedangkan pada bibit berukuran > 2kg terdapat dua ulangan dan persentase daun muncul terbanyak berada pada ulangan ke-II yajni 85,8%. Sehingga apabila dilihat dari fakta dilapangan, maka penggunaan bibit > 2kg lebih dianjurkan karena memiliki persentase daun muncul rata-rata 60,5% sedangkan bibit < 2kg hanya memiliki persentase muncul daun sebesar 22,64 %. Angka ini sangat berbeda jauh.  Hal ini disebabkan bibit > 2kg lebih tahan dalam kondisi lingkungan marginal sehingga tidak menghambat pertumbuhan daun pada bibit tersebut.
Perlakuan
 Persentase Bibit Hidup (%)
Rata-rata

U1
U2
U3
U4
U5
U6
U7
U8
U9
U10
< 2kg
62,2
47,2
60
42,2
31,4
58,3
19,7
19,7
62,8
62,8
46,6
>2kg
42,9
57,2
52,5
-
-
-
-
-
-
-
50,9

            Pada tabel persentase bibit hidup diatas dapat diketahui bahwa bibit < 2kg ada 10 ulangan dengan persentasetertinggi pada ulangan ke-9 dan ke-10 dengan nilai 62,8%. Sedangkan pada bibit >2kg terdapat 3 ulangan dengan persentase tertinggi pada ulangan ke-2 yakni 57,2%. Dari perbandingan ukuran bibit yang digunakan, bibit dengan ukuran lebih besar menunjukkan persentase bibit hidup lebih besar yakni 50,9% dibandingkan bibit berukuran kecil yaitu 46,6%. Hal ini dikarenakan bibit yang besar memiliki ketahanan terhadap perubahan lingkungan sekitar dan lebih mampu beradaptasi sehingga lebih banyak bibit yang hidup.
            Dari pratikum yang telah dilaksanakan serta perbandingan ketiga tabel diatas , perbandingan antara bibit kecil dan besar terdapat perbedaan signifikan pada peubah persentase daun muncul. Data tabel menunjukkan persentase daun muncul pada bibit < 2kg sebesar 22,64% dan pada bibit > 2kg sebesar 60,5%. Jadi terdapat selisih sebesar 37,86%. Namun , untuk peubah tinggi tanaman dan persentase bibit hidup tidak terlalu besar selisihnya. Dimana bibit kecil juga menunjukkan pertumbuhan yang hampir sama dengan bibit yang berukuran besar. Namun pencapaian maksimal tetap pada bibit yang berukuran besar. Data tabel menunjukkan tinggi tanaman rata-rata pada bibit <2kg sebesar 46,37% dan pada bibit > 2kg sebesar 51,5%.  Hal ini dikarenakan bibit yang berukuran besar telah siap dijadikan anakan untuk disemai dan ditanam dilapangan.

Perbandingan persemaian di polybag dan rakit

Persemaian
Tinggi Tanaman (cm)
Polibag
35,25
Rakit
48,9

            Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa tinggi tanaman di rakit lebih unggul yakni 48,9 cm dibandingkan bibit yang disemai dipolybag yakni  hanya 35,25 cm. Jadi untuk pertumbuhan tinggi tanaman lebih unggul melakukan persemaian di rakit daripada di polybag.
Persemaian
Persentase daun muncul (%)
Polibag
11,7
Rakit
41,57

            Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa persentase daun muncul dipolybag sebesar 11,7 %. Hal ini sangat berbeda nyata dengan persentase daun muncul yang disemai dirakit yakni sebesar 41,57%. Hal ini mennunjukan bahwa persemaian di rakit lebih menguntungkan dari persemaian di polybag jika dilihat dari  segi persentase daun muncul.


Persemaian
Persentase bibit hidup (%)
Polibag
41,6
Rakit
48,75

            Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa persentase bibit hidup di rakit lebih tinggi yakni 48,75 % dibandingkan di polybag yang hanya 41,6%. Maka dapat dikatakan bahwa persemaian di rakit lebih baik dari segi kelangsungan hidup bibit jika dibandingkan persemaian bibit di polybag.
            Dari pratikum yang telah dilaksanakan dapat diambil kesimpulan bahwa keberhasilan persemaian sistem rakit lebih tinggi daripada sistem polybag atau ditanah. Hal ini disebabkan pelukaan pada bibit akibat pemisahan dari induknya sering menjadi sarang bagi hama. Pada saat direndam dalam rakit, hama yang menyerangbibit sagu tidak dapat hidup.

Penanaman bibit sagu

Beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum penanam sagu diantaranya pembuatan lubang tanam, penentuan jarak tanam, pengangkutan bibit, persiapan alat dan bahan yang diperlukan, pembersihan tempat untuk lubang tanam dari raning dan rumput dengan tujuan mengurangi serangan hama penyakit, serta memperhatikan iklim. Menurut kebiasaan petani Riau dan Maluku, penanaman sagu dilakukan pada awal usim penghujan.
Penanaman sagu ada dua metode, yaitu secara konvensional dan penanaman menurut blok (modern). Metode konvensional pada umumnya dilakukan oleh petani sagu, sedangkan penanaman menurut blok pada saat ini baru dirintis oleh perusahaan perkebunan sagu.
Penanaman dilakukan pada lubang-lubang tanam yang sudah disiapkan di lahan. Lubang tanam dibuat dengan ukuran 30 x 30 x 30 cm. Pada lubang tanam itu ditempatkan pancang-pancang bambu, tiap lubang dua pancang. Jarak tanam bervariasi antara 8 sampai 10 m, sehingga satu hektar hanya mampu menampung ± 150 batang. Sedangkan jarak tanam yang dianggap ideal untuk Tuni: 8 x 8 m, Ihur: 9 x 9 m dan Molat: 7 x 7 m, sebab dalam jarak tanam tersebut tanaman sagu setelah tumbuh dan berkembang dengan membentuk rumpun, lingkungan tumbuh dan ruang gerak yang cukup dapat dicapai secara efektif.
Cara menanam bibitnya adalah dengan jalan membenamkan dengkel sagu kedalam lubang tanam, kemudian bagian pangkal ditutup dengan tanah remah bercampur gambut; tanah penutup ini jangan ditekan, tetapi dengkel harus dibuat sedemikian rupa sehingga tidak bisa bergerak. Agar bibit tidak goyah atau hanyut oleh air pasang naik, maka bibit perlu diberi pemancang.
Berdasarkan literatur diatas penanaman yang dilakukan pada saat praktikum adalah penanaman secara konvensional, penanaman dilakukan pada lubang tanam yang sudah disediakan sebelumnya. Pada saat penanaman bibit dimasukkan kedalam lubang tanam dengan ukuran 30 x 30 x 30 cm, hati-hati pada saat penanaman jangan sampai titik tumbuhnya tertutupi karena hal tersebut dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Kemudian diberi pupuk dasar serta diberi ajir dengan tujuan menegakkan bibit serta menghindari bibit hanyut ketika terjadi penggenangan.










PENUTUP

Kesimpulan

Dari kegiatan pratikum yang telah dilaksanakan dapat diambil kesimpulan bahwa  bibit yang palaing baik digunakan sebagai anakan adalah bibit berukuran > 2kg. hal ini disebabkan bibit yang berukuran agak besar ini memiliki daya hidup yang lebih tinggi dibandingkan bibit kecil. Selain itu, cadangan makanan yang tersedia lebih banyak terdapat pada bibit dengan ukuran banir yang lebih besar.
Untuk pemberian pupuk sebaiknya harus disesuaikan dengan kebutuhan. Pupuk tidak boleh kurang maupun berlebihan karena akan percuma. Tidak akan dapat diserap makanan.
Untuk media persemaian, yang paling baik adalah media rakit dikarenakan hama yang menyerang bibit yang tumbuh ditanah tidak dapat hidup jika diair. Selain itu,  sagu juga menginginkan lingkungan yang basah yang sesuai dengan habitatnya di lapangan.

Saran

Adapun saran yang dapat disampaikan penulis antara lain :
-          Gunakan bibit yang unggul untuk disemai yakni bibit yang berbentuk L dengan ukuran bibit > 2kg
-          Sebaiknya lakukan persemaian di rakit
-          Beri pupuk sesuai kebutuhan saja alias tidak berlebih
-          Ciptakan lingkungan sesuai habitat aslinya
-          Pada saat penanaman dilapang usahakan tidak menutupi titik tumbuh sucker
-          Beri ajir silang pada saat penanaman


 

 

DAFTAR PUSTAKA

Alfons,J. B. Dan S.Bustaman.2005. Prospek dan Arah Pengembangan Sagu di Maluku.BPTP Maluku
Anonim. 2008. Metroxylon sago. Dikutip dari http://en.wikipedia.org/wiki/Sago
Bintoro. 2008. Bercocok Tanam Sagu. IPB Press. Bogor
______. MYJ. Purwanto, dan A. Shandra. 2010. Sagu di Lahan Gambut. IPB Press. Bogor
Fajar, IA. Thesis Pengelolaan Persemaian Bibit Sagu (Jvfelroxylon Sp) 01 Perkebunan PT. National Timber And Forest Product Unit Btl Murni Sagu, Selat Panjang. Riau. http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/15428  diakses 19 Desember 2013
Flach, M. 1997. Sago Palm, Metroxylon sago Rottb. IPGRI. Rome, 76p
Flach, M.1983. Yield Potential of The Sago Palm, Metroxylon sago Its Realisation. First International Sago Symposium. Kuching, 5-7 Juli 1976. Pp 157-177
Harsanto, P.B., 1986.  Budidaya dan Pengolahan Sagu.  Kanisius.  Yogyakarta.
Haryanto, B.  Dan Pangloli, P., 1992.  Potensi dan Pemanfaatan Sagu.  Kanisius.  Yogyakarta.

Hasan, BI.2011. Budidaya Tanaman Sagu dalam http://budidayatanamansagu/2011/11/budidaya-tanaman-sagu.htm diakses pada 12 Desember 2013

Notohadiprawiro, T dan J.E Louhennapessy. 1993. Potensi Sagu Dalam Penganekaragaman Bahan Pokok Ditinjau Dari Persyaratan Lahan. Pp 99-106. UNPATTI dalam /tim Fakultas Pertanian UNPATTI (Eds). Prosiding Symposium Sagu Nasional. Ambon. 12-13 Oktober, 1992.

Nurulhaq, MI.2012. Tinjauan Pustaka Tanaman Sagu. http://studiperkebunan.blogspot.com/2012/07/tinjauan-pustaka-tanaman-sagu.html diakses 15 Desember 2013.

R.B. Maliangkay, N. Mashud, E. Manaroinsong dan Y.R. Matana . Pengaruh Ukuran Anakan Terhadap Pertumbuhan Bibit Sagu. Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain http://balitka.litbang.deptan.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=215%3Apengaruh-ukuran-anakan-terhadap-pertumbuhan-bibit-sagu&catid=53%3Abuletin-palma-34&Itemid=172&lang=en
Revan, D. 2011. Dapus Sagu dalam http://inspirasimuda/2011/05/dapus-sagu.htm diakses pada 15 Desember 2013
Samarang,S. 2010. Budidaya Sagu dalam http//google.com/budidaya-sagu-1442.html
Suyitno, E. 2011. Budidaya Tanaman Sagu dalam http//google.com/budidaya-sagu.html. Diakses pada 15 Desember 2013
Turukay, B.1986. The Role of Sago Palm in the Development of Integrated Farm System in Maluku Province of Indonesia. Pp 7-15 in N Yamada and K. Kainuma(Eds) Proc. The 3rd Int. Sago Symposium. Tokyo, May 20-23 1985
Usman HF. 1996. Informasi teknik perkembangan sagu. Materi Simposium Nasional Sagu III. Simposium sagu dalam usaha pengembangan Agribisnis di Wilayah Lahan Basah. Pekan Baru 22-28 Februari 1996.

Wijiastuti,S. Bercocok tanam sagu ditulis oleh  Prof. Dr. Ir. H. M. Bintoro, MM. Agr. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor bekerjasama dengan Universitas Tokyo. 2008.  Diakses 19 Desember 2013











Comments

Post a Comment

Popular Posts