budidaya sagu
LAPORAN
PRAKTIKUM
BUDIDAYA
SAGU
KELOMPOK
9
Mira
Aryuni J3W412005
Mimi
Riawati J3W412013
Syarif
Hidayatullah J3W412036
M.
Bahauddin J3W412033
PROGRAM
KEAHLIAN
PRODUKSI
DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN TERPADU
PROGRAM
DIPLOMA
INSTITUT
PERTANIAN BOGOR
DAFTAR
ISI
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sagu
merupakan salah satu komoditi tanaman pangan yang dapat dipergunakan sebagai
sumber karbohidrat yang cukup potensial di Indonesia, khususnya di wilayah
Indonesia bagian timur yang pada dasarnya sampai saat ini belum dimanfaatkan
secara optimal. Dilihat dari
keanekaragamaan dan keasliannya banyak yang menyatakan sagu berasal dari
Maluku dan Irian jaya karena dapat dijumpai hutan sagu dengan banyak ragamnya.
Sagu ada yang berduri panjang dan ada yang tidak berduri. Jakson in Tan (1997)
menyatakan bahwa penyebaran sagu hanya terbatas di wilayah Asia Tenggara.
Negara produsen sagu yang dikenal terbatas pada Indonesia, Malaysia dan Papua
New Guinea.
Sagu
sebagai salah satu sumber karbohidrat memiliki peranan yang sangat penting pada
berbagai bidang, meskipun saat ini peranan sagu masih berkembang secara
tradisional dan terbatas. Di Indonesia sendiri peranan sagu sangat mendukung
pelaksanaan Inpres No.20 tahun 1979 tentang usaha diversifikasi pangan, sebab
sagu di Indonesia disamping potensi produksinya tinggi, sagu berpeluang besar
dipakai sebagai makanan yang disukai masyarakat. Dengan teknologi pangan yang
tinggi sagu dimungkinkan sebagai bahan pangan
yang lezat dan bergizi tinggi. Ditambah lagi kandungan kalori relatif
sama dengan kalori jagung kering atau beras giling , bahkan dinyatakan jauh
lebih tinggi dibandingkan dengan kalori yang dikandung oleh ubi kayu atau
kentang, sehingga sagu dapat dijadikan salah satu komoditi pangan yang dapat menjawab tantangan peningkatan
kebutuhan pangan nasional dimasa mendatang.
Disamping
sebagai makanan pokok, sagu juga dikonsumsi sebagai makanan pendamping seperti
sagu lempeng, sinali, bagea dan lain-lain. Pada umumnya pangan tersebut
diproduksi dalam skala industri kecil. Bahkan di Jawa barat sendiri hanya
daunnya saja yang dimanfaatkan sebagai bahan atap. Teknologi yang digunakan
dalam pengolahan tepung sagu di
Indonesia kebanyakan masih tradisional dan sebagian kecil saja yang menggunakan
cara mekanis. Pengolahan sagu secara industri baru dilakukan di daerah-daerah
seperti Jambi, Riau dan Sumatera Selatan. Produksinya untuk memenuhi permintaan
pasar dalam negeri dan diekspor dalam jumlah terbatas.
Budidaya
tanaman sagu di Indonesia pada umumya masih primitif atau dapat dikatakan masih
tumbuh secara liar terutama di papua. Masih banyak petani sagu belum
melaksanakan teknik budidaya sagu seperti teknik budidaya tanaman perkebunan
lainnya. Sagu di Indonesia masih menuntut teknik bercocok tanam secara
intensif.
Dalam
pengembangan suatu jenis tanaman di Indonesia, pendekatan yang dipergunakan
adalah pendekatan gizi. Disamping usaha pengadaan karbohidrat agar seiring
dengan usaha pengadaan karbohidrat diproduksikan pula unsur-unsur gizi lain.
Karbohidrat didapat dari tanaman penghasil karbohidrat, sedangkan protein,
lemak, vitamin dan mineral dapat diambil dari sumber lain. Dalam pengembangan
sagu sebagai sumber karbohidrat, lebih tepat dengan pendekatan menu yakni meski
kandungan proteinnya rendah dapat diganti dengan mengkonsumsi sumber bahan pangan lain. Mengingat sagu
adalah tanaman daerah rawa maka berfungsi sebagai tempat penghasil ikan, selain
itu sagu juga berperan dalam intensifikasi pemanfaatan lahan dimana lahan yang
ditumbuhi tanaman sagu merupakan lahan yang komoditi lain tidak mampu untuk
tumbuh dengan baik dan produktif. Mengingat konversi lahan pertanian yang
semakin hari semakin tinggi perkembangannya.
Tak
terbatas pada bidang pangan, sagu yang sebagian besar tumbuh secara alami
memiliki multifungsi bagi kehidupan manusia, namun tanaman tersebut belum
banyak diperhatikan oleh pemerintah maupun masyarakat Indonesia, bahkan
terdapat kecenderungan populasinya semakin menurun. Disatu sisi pati yang
dikandung dalam batang sagu dapat digunakan sebagai bahan pangan potensial,
disisi lain juga digunakan untuk bahan baku agroindustri. Selain itu, tumbuhan
sagu dapat beperan sebagai pengaman lingkungan karena dapat mengabsorbsi emisi
gas CO2 yang ditransmisikan dari lahan rawa dan gambut ke udara.
Emisi gas CO2 dan NH4 yang ditransmisikan ke udara
bervariasi dari 25-200 mg/m2/jam ( Boss dan Plassche 2003). Adanya
tegakan hutan sagu, gas yang ditransmisikan keudara akan berkurang karena CO2
digunakan untuk fotosintesis.
Tanaman
sagu dapat mengkonversi air tanah, karena
tanaman sagu menghendaki kelembaban tanah yang tinggi. Kawasan yang
kadang-kadang tergenang air sangat disukai tanaman sagu, namun apabila kawasan
tersebut selalu tergenang akan mengakibatkan pertumbuhan sagu lambat dan kadar
patinya rendah. Kawasan yang ditumbuhi sagu akan dipertahankan dalam keadaan
lembab sebaliknya kawasan yang digunakan untuk tanaman perkebunan akan dibuat
saluran drainase. Air yang ada didalam kawasan tersebut akan dialirkan ketempat
lain. Oleh karena itu kawasan yang ditumbuhi sagu akan mengandung banyak air,
padahal air dimasa mendatang akan menjadi masalah serius bagi manusia, hewan
maupun tumbuhan.
Suatu
kawasan yang tertutup rapat vegetasi termasuk vegetasi sagu akan mengakibatkan
intensitas curah hujan yang tinggi namun dengan aliran permukaan yang kecil.
Dengan demikian air yang tersedia bagi makhluk hidup dikawasan tersebut menjadi
lebih banyak.
Apabila
tegakan sagu mendominiasi pinggiran sungai akan berakibat aliran permukaan
tidak masuk kedalam sungai tetapi akan dihambat sehingga aliran permukaan
tersebut akan merembes kedalam tanah kemudian menjadi air tanah. Menurut
Harsanto (1986) tegakan sagu yang rapat memiliki kemampuan untuk membersihkan
limbah industri dan limbah domestik.
Dengan
demikian, tanaman sagu sangat bermanfaat
bagi manusia. Secara umum pemanfaatan sagu dimulai dari daunnya yang dijadikan
atap rumah tradisional, tulang daunya dapat dijadikan dinding, lidinya dapat
dibuat sapu, kulit batangnya dapat dijadikan lantai. Empulur sagu setelah
diparut dapat dijadikan pakan ternak. Apabila setelah diparut, kemudian parutan
tersebut diolah lebih jauh, maka limbahnya yang berupa serat dapat dijadikan
makanan ternak, media tumbuh untuk jamur atau media berbagai tanaman pertanian.
Limbah cairnya dapat digunakan untuk berbagai macam keperluan, misalnya makanan
pokok, bahan baku industri makanan, bahan bakar biofuel, bahan baku penyedap
makanan, bahan bakku gula cair, bahan baku plastik ramah lingkungan yang dapat
terurai didalam tanah, pakan ternak dan sebagai bahan baku berbagai industi
lainnya.
Tujuan
-
Mengetahui teknik budidaya sagu
-
Mengetahui persemaian sagu di media rakit dan polybag
-
Membandingkan media persemaian yang baik antara rakit dan polybag
-Mengetahui tingkat pertumbuhan tinggi ,
daun muncul dan persentase bibit hidup
pada sucker
-
Membandingkan antara bibit < 2 kg dan > 2kg
-
Mengetahui teknik penanaman bibit di lapangan
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Klasifikasi
Pohon sagu
merupakan nama umum untuk tumbuhan genus Metroxylon. Sagu (Metroxylon spp)
termasuk tumbuhan monokotil dari famili Palmae, marga Metroxylon dan ordo
Spadiciflorae (Ruddie et al., 1976) dalam Haryanto dan Pangloli
(1992). Metroxylon berasal dari bahasa
Yunani yang terdiri dari dua suku kata, yaitu Metra berarti isi batang atau
empelur dan xylon yang berarti xylem (Flach, 1977). Sagu berkembangbiak melalui tunas,
akar atau biji sehingga tumbuh membentuk rumpun dan berkelompok (Louhenapessy et
al. 2010).
Secara
garis besar sagu digolongkan dalam dua golongan, yaitu yang berbunga atau
berbuah sekali (Hapaxanthic) dan yang berbunga atau berbuah lebih dari sekali
(Pleonanthic) (Deinum, 1984 dalam Djumadi, 1989). Golongan pertama mempunyai nilai ekonomi yang
penting karena kandungan acinya tinggi.
Golongan ini terdiri dari lima jenis yaitu : (1) metroxylon sagus
Rottb (Sagu Molat).; (2) Metroxylon rumphii Mart (Sagu Tuni).; (3) Metroylon
micracanthum Mart ( Sagu Rotan),; (4)
Metroxylon Longispinum Mart ( Sagu Makanaru),; (5) Metroxylon sylvestre Mart (Sagu Ihur).
Dari kelima varietas diatas
yangmemiliki arti ekonomis penting adalah Ihur, Tani dan Molat. Ihur dan
Tuni berduri sedangkan Molat tidak berduri sehingga disebut sagu perempuan.
Sagu Tuni dan Molat enak rasanya, sedangkan sagu ihur kurang enak. Sagu Tuni
dan Ihur mempunyai kesanggupan beranak yang tinggi, sedangkan sagu Molat pada
umumnya anakan yang dibentuk jauh lebih sedikit ( Harsanto 1992).
Habitus Ihur dan Tuni tumbuh lebih kuat dari pada Molat, tinggi batang
Ihur 10-20 m; Tuni 10-12 m dan Molat 9-10 m (Harsanto 1992).
Sedangkan
golongan kedua terdiri dari spesies Metroxylon filarae dan Metroxylon
elatum yang banyak tumbuh di dataran yang relatif tinggi. Golongan ini nilai ekonominya rendah karena
kandungan acinya kurang.
Taksiran
luas lahan sagu di Indonesia sangat bervariasi dari waktu ke waktu. Luas lahan
sagu di Indonesia adalah 1.398.000 ha, sedangkan di Maluku (provinsi Maluku dan
Maluku Utara) luas lahan sagu adalah 50.000 ha (Balitbanghut 2005).
Di seluruh nusantara
terdapat pohon sagu dan sagu-saguan. Daerah-daerah yang merupakan sagu utama
ialah Irian Jaya, Maluku (terutama Seram dan Halmahera), Sulawesi, Kalimantan
(terutama Kalimantan Barat) dan Sumatera (terutama Riau). Hutan sagu alam yang
luas terdapat di sepanjang dataran rendah pantai dan muara sungai di Irian
Jaya, Seram, Halmahera dan Riau. Di daerah lain hutan sagu yang ada sekarang
kebanyakan merupakan kebun sagu yang meliar menjadi hutan karena tidak ada
pemeliharaan (Heyne, 1950).
Di Jawa sagu tidak terdapat
umum dan ditemukan secara terbatas di Banten dan di beberapa tempat sepanjang
pantai utara Jawa Tengah. Di daerah Maluku Tenggara yang berhujan kurang, sagu
ditemukan lebih sedikit atau tidak ada. Di Bali, Nusa Tenggara Barat dan Timur
serta Timor Timur tidak terdapat sagu. Yang ada ialah sagu-saguan. (Wijandi,dkk
1981).
Komponen yang paling
domonan dalam aci sagu adalah pati (karbohidrat). Pati adalah karbohidrat yang
dihasilkan oleh tumbuh-tumbuhan untuk persediaan bahan makanan. Komposisi kimia
dalam setiap 100 gram aci terdiri dari 355 kal kalori, 0,7 gr protein, 0,2 gr
lemak, 84,7 gr karbohidrat, 14 gr air, 13 mg fosfor, 11 mg kalsium, 1,5 gr besi
(Haryanto dan Philipus, 1992).
Pati sagu memiliki granula yang berbentuk elips agak
terpotong dengan ukuran granula sebesar 20-60 mm dan suhu gelatinisasinya
berkisar 60-72oC. Sedangkan menurut Wirakartakusumah et al., (1986) suhu gelatinisasi pati sekitar 72-90oC.
Pati sagu mengandung sekitar 27 persen amilosa dan
sekitar 73 persen amilopektin. Rasio amilosa akan mempengaruhi
sipat pati itu sendiri. Apabila kadar amilosa tinggi maka pati akan
bersifat kering, kurang lekat dan cenderung meresap lebih banyak air
(higroskopis). Amilosa mempunyai struktur lurus dengan ikatan (1-4)α – glukosa, sedangkan amilopektin mempunyai ikatan
(1-6)α – glukosa seperti yang disajikan bercabang
(Wiranatakusumah, dkk, 1986).
Sagu
merupakan tanaman penghasil karbohidrat yang paling produktif. Tabungan
karbohidrat di hutan sagu Indonesia mencapai 5 juta ton pati kering per tahun,
setara dengan 3 juta kiloliter bioetanol. Mengingat habitat sagu di lahan payau
dan tergenang air maka pengembangan sagu sebagai sumber energi bioetanol tidak
akan membahayakan ketahanan pangan. Sekitar Danau Sentani, Kabupaten Jayapura,
Papua. Di tempat tersebut dijumpai keragaman plasma nutfah sagu yang paling
tinggi. Areal sagu terluas terdapat di Papua (1,2 juta ha) dan Papua Nugini
(1,0 juta ha) yang merupakan 90% dari total areal sagu dunia. Tanaman sagu
tersebar di wilayah tropika basah Asia Tenggara dan Oseania, terutama tumbuh di
lahan rawa, payau atau yang sering tergenang air. Batang sagu ditebang
menjelang tanaman berbunga, saat kandungan patinya tertinggi. Setelah
Sumber tepung sagu yang
utama adalah Metroxylon Sagu, yang ditemukan Asia Bagian tenggara dan Guinea
Baru; lain jenis, termasuk M. salomonense dan M. amicarum ditemukan di
Melanesia Dan Micronesia di mana itu lebih sedikit penting secara ekonomis
sebagai sumber sagu untuk dikonsumsi. Tepung Sagu atau Metroxylon memiliki
karbohidrat yang hampir murni dan mempunyai sangat kecil protein, vitamin, atau
mineral. Seratus gram dari sagu kering menghasilkan 355 kalori, mencakup suatu
rata-rata 94 gram karbohidrat, 0.2 gram protein, 0.5 gram dari serabut
berkenaan dg aturan makan, 10mg zat kapur, 1.2mg besi/ setrika, dan sedikit
karotein, thiamine, dan cuka asorbik. Sagu dapat disimpan untuk minggu atau
bulan, walaupun umumnya disepakati dimakan segera setelah itu diproses (Anonim,
2008).
Menurut
Alfons (2006), luas areal sagu potensial di Maluku diperkirakan sebesar 31.360
ha. Jumlah pohon masak tebang untuk kondisi hutan sagu di Indonesia adalah
antara 8–36 pohon/ha dimana untuk kondisi hutan sagu di Maluku rata-rata pohon
sagu masak tebang berbagai jenis sagu adalah 20 pohon/ha dan rataan produksi
tiap pohon adalah 220 kg, sehingga dalam luasan satu ha dapat diproduksi 4400
kg tepung sagu (Louhenapessy 1988). Dari jumlah produksi tepung sagu diperoleh
limbah padat berupa ampas sagu dalam jumlah yang besar dengan perbandingan
tepung sagu dan ampas sagu 1 : 6. Hal ini berarti potensi ampas sagu tersedia
cukup besar yaitu 1.320 kg per pohon yang terdiri dari campuran ampas dan sisa
pati yang tidak terekstraksi (Rumalatu 1981).
Pengolahan
bagian dalam batang pohon sagu menjadi bagian-bagian kecil dengan menggunakan
parut yang terbuat dari bahan kayu dan paku sebagai mata parut. Pada masyarakat
Akit di Pulau Rupat alat tersebut dikenal dengan sebutan pahut sagu. Masyarakat
Mentawai di Pulau Siberut mencacah bagian dalam batang pohon sagu dengan alat
yang disebut kukuilu. Alat ini berbentuk segitiga yang terbuat dari kayu yang
diikat satu sama lain dengan menggunakan tali dari kulit kayu. Pemrosesan
sari/pati sagu dan pengeringan. Pati sagu dikeluarkan dari parutan sagu dengan
cara diinjak-injak dengan kaki. Kegiatan tersebut di Pulau Lingga disebut
diirik, sehingga alatnya disebut juga alat pengirik yang terdiri dari langgar
atau pelantar terbuat dari kayu lait, dan diberi dasar tikar sebagai wadah
tempat sagu. Biasanya di dekat alat pengirik dipasang timba air yang berfungsi
untuk menyiram parutan sagu yang diinjak-injak, yang terdiri dari bambu, tali,
timba, dan batu pemberat. Selanjutnya pati sagu ditampung dengan ube atau uba
(penampung). Alat tersebut berbahan kayu dan berbentuk menyerupai perahu
pencalang. Pada ujungnya dibuat lobang tempat keluar air. Apabila uba dipenuhi
air, sementara pengirikan masih berlangsung, maka air akan keluar melalui
lubang tersebut, sedangkan pati sagu mengendap pada dasar uba. Hasil sagu
irikan diambil dari dalam uba. Karena sagu yang dihasilkan masih kotor maka
dimasukkan ke tempayan yang 2/3 diisi air laut kemudian diaduk sehingga ampas
kotoran lainnya naik ke permukaan dan pati sagu mengendap di dasar tempayan
(Susilowati, 2008).
Pembuatan
suspensi pati dilakukan dengan langkah memasukkan aci sagu ke dalam tangki
suspensi dan ditambah dengan air sampai suspensi pati mencapai konsentrasi 35 %
bahan kering. Kemudian pH diatur menjadi 6,0-6,5 dengan penambahan CH3COOH.
Selanjutnya suspensi pati ditambah termamyl 60 L dengan dosis satu liter (1L)
untuk setiap ton bahan baku atau 0,001 ml/gram aci, sambil di aduk agar setiap
bagian yang terkandung merata (Harsanto, 1986).
Untuk
mendapatkan aci sagu, maka dari empelur batang sagu diperlukan ekstraksi aci
dengan bantuan air sebagai perantara. Sebelumnya empelur batang dihancurkan
terlebih dahulu dengan ditokok atau diparut. Ditinjau dari cara alat yang
digunakan, cara ekstraksi sagu yang dilakukan di daerah-daerah penghasil sagu
di Indonesia saat ini dikelompokkan secara tradisonal, ekstraksi semi mekanis
dan ekstraksi secara mekanis (Pietries, 1966).
B.
Morfologi sagu
Sagu mempunyai tanda-tanda morfologi seperti Aren ( Arecha sp),
perbedannya Aren tidak membentuk rumpun. Batang Aren hampir seluruhnya diliputi
ijuk hitam, sedangkan sagu hanya mempunyai ijuk hitam sedikit pada pinggiran
pelepah daunnya sehingga batang sagu tampak jelas, mirip pohon pinang (Harsanto
1992).
Sagu
tumbuh dalam bentuk rumpun. Setiap
rumpun terdiri dari 1-8 batang sagu, pada setiap pangkal tumbuh 5-7 batang
anakan. Pada kondisi liar rumpun sagu
akan melebar dengan jumlah anakan yang banyak dalam berbagai tingkat
pertumbuhan (Harsanto, 1986). Lebih
lanjut Flach (1983) dalam Djumadi (1989) menyatakan bahwa sagu tumbuh
berkelompok membentuk rumpun mulai dari anakan sampai tingkat pohon. Tajuk pohon terbentuk dari pelepah yang
berdaun sirip dengan tinggi pohon dewasa berkisar antara 8-17 meter tergantung
dari jenis dan tempat tumbuhnya.
C.
Batang
Batang
sagu merupakan bagian terpenting karena merupakan gudang penyimpanan aci atau
karbohidrat yang lingkup penggunaannya dalam industri sangat luas, seperti
industri pangan, pakan, alkohol dan bermacam-macam industri lainnya (Haryanto
dan Pangloli, 1992).
Batang
sagu berbentuk silinder yang tingginya dari permukaaan tanah sampai pangkal
bunga berkisar 10-15 meter, dengan diameter batang pada bagian bawah dapat
mencapai 35 sampai 50 cm (Harsanto, 1986), bahkan dapat mencapai 80 sampai 90 cm
(Haryanto dan Pangloli, 1992). Umumnya
diameter batang bagian bawah agak lebih besar daripada bagian atas, dan batang
bagian bawah umumnya menagndung pati lebih tinggi daripada bagian atas
(Manuputty, 1954 dalam Haryanto dan Pangloli, 1992)
Pada
waktu panen berat batang sagu dapat mencapai lebih dari dari 1 ton, kandungan
acinya berkisar antara 15 sampai 30 persen (berat basa), sehingga satu pohon
sagu mampu menghasilkan 150 sampai 300 kg aci basah (Harsanto, 1986; Haryanto
danPangloli, 1992).
Menurut Harsanto (1992) tingkat pertumbuhan batang dibedakan sebagai
berikut:
Tingkat semai : tinggi
batang sampai dengan 0,50m
Tingkat sapihan : tinggi batang
0,50 m - 1,50 m
Tingkat tiang : tinggi
batang 1,50 m – 5 m
Tingkat pohon : tinggi batang > 5 m
D.
Daun
Daun
sagu berbentuk memanjang (lanceolatus), agak lebar dan berinduk tulang daun di
tengah, bertangkai daun dimana antara tangkai daun dengan lebar daun terdapat
ruas yang mudah dipatahkan (Harsanto, 1986).
Daun
sagu mirip dengan daun kelapa mempunyai pelepah yang menyerupai daun
pinang. Pada waktu muda, pelepah
tersusun secara berlapis tetapi setelah dewasa terlepas dan melekat
sendiri-sendiri pada ruas batang (Harsanto, 1986; Haryanto dan Pangloli,
1992). Menurut Flach (1983) dalam Haryanto
dan Pangloli (1992) menyatakan bahwa sagu yang tumbuh pada tanah liat dengan
penyinaran yang baik, pada umur dewasa memiliki 18 tangkai daun yang panjangnya
sekitar 5 sampai 7 meter. Dalam setiap
tangkai sekitar 50 pasang daun yang panjangnya bervariasi antara 60 cm sampai
180 cm dan lebarnya sekitar 5 cm.
Pada
waktu muda daun sagu berwarna hijau muda yang berangsur-angsur berubah menjadi
hijau tua, kemudian berubah lagi menjadi coklat kemerah-merahan apabila sudah
tua dan matang. Tangkai daun yang sudah
tua akan lepas dari batang (Harsanto, 1986).
E.
Bunga dan Buah
Tanaman
sagu berbunga dan berbuah pada umur sekitar 10 sampai 15 tahun, tergantung
jenis dan kondisi pertumbuhannya dan sesudah itu pohon akan mati (Brautlecht,
1953 dalam Haryanto dan Pangloli, 1992).
Flach (1977) menyatakan bahwa awal fase berbunga ditandai dengan
keluarnya daun bendera yang ukurannya lebih pendek daripada daun-daun
sebelumnya.
Bunga sagu
merupakan bunga majemuk yang keluar dari ujung atau pucuk batang sagu, berwarna
merah kecoklatan seperti karat (Manuputty, 1954 dalam Haryanto dan
Pangloli, 1992). Sedangkan menurut
Harsanto (1986), bunga sagu tersusun dalam manggar secara rapat, berkuran
secara kecil-kecil, waranya putih berbentuk seperti bunga kelapa jantan dan
tidak berbau.
Bunga
sagu bercabang banyak yang terdiri dari cabang primer, sekunder dan tersier
(Flach, 1977). Selanjutnya dijelaskan
bahwa pada cabang tersier terdapat sepasang bunga jantan dan betina, namun
bunga jantan mengeluarkan tepung sari sebelum bunga betina terbuka atau
mekar. Oleh karena itu diduga bahwa
tanaman sagu adalah tanaman yang menyerbuk silang, sehingga bilamana tanaman
ini tumbuh soliter jarang sekali membentuk buah.
Bilamana
sagu tidak segera ditebang pada saat berbunga maka bunga akan membentuk
buah. Buah bulat kecil, bersisik dan
berwarna coklat kekuningan, tersusun pada tandan mirip buah kelapa (Harsanto,
1986). Waktu antara bunga mulai muncul
sampai fase pembentukan buah diduga berlangsung sekitar dua tahun (Haryanto dan
Pangloli, 1992).
Sagu budidaya merupakan tanaman menahun yang hanya berbunga atau berbuah
sekali pada masa hidupnya. Setelah berbunga dan berbuah sagu akan mati (
Harsanto 1992).
Selanjutnya Haryanto dan Pangloli (1992)
menjelaskan bahwa tanaman sagu akan menghasilkan anakan secara berurutan dengan
pola anak beranak yang selanjutnya membentuk rumpun yang lebih luas. Jenis sagu
rotan dibiarkan tumbuh secara liar dan tidak ada usaha pemeliharaan. Lebih
lanjut Haryanto dan Pangloli (1992) menjelaskan bahwa populasi tanaman sagu
tergantung dari jenis, daerah produksi dan perlakuan yang diberikan selama masa
pertumbuhan dimana pertumbuhan sagu yang dipelihara atau dibudidayakan populasinya
lebih padat dari pada yang tumbuh secara liar.
F.
Lingkungan Tumbuh
Tanaman Sagu
Tanaman
sagu merupakan tanaman yang dapat tumbuh baik di daerah khatulistiwa, di daerah
tepi pantai dan sepanjang aliran sungai pada garis lintang antara 10˚ LU dan
10˚ LS dan pada ketinggian 300 sampai 700 meter di atas permukaan laut (dpl),
mempunyai curah hujan lebih dari 2000 mm per tahun (Tan, 1982; Harsanto, 1986).
Menurut Harsanto (1986) bahwa jumlah curah hujan yang
menguntungkan bagi pertumbuhan sagu diduga antara 2000 sampai 4000 mm per
tahun, tersebar merata sepanjang tahun dengan temperatur rata-rata 24˚C sampai
30˚C. .
Suhu optimal untuk pertumbuhan sagu berkisar antara 24,50 – 29oC dan
suhu minimal 15oC, dengan kelembaban nisbi 90%. .
Sagu dapat ditanam di daerah dengan kelembaban nisbi udara 40%. Kelembaban yang
optimal untuk pertumbuhannya adalah 60%.
Sagu dapat tumbuh pada
berbagai jenis tanah, 1) belum berkembang, berdrainase baik hingga buruk yakni
sulfaquent (mengandung bahan sulfidik), hidraquent ( waterlogged), tropaquent (
kawasan iklim tropika), flulvaquent ( tanah alluvial) dan psammaquent (tanah
berpasir); 2) tanah sedang berkembang berdrainase baik sampai buruk tropaquent
( dikawasan iklim tropik) sari sub golongan typic (norma) dan vertic (liat),
tanah gambut troposaprist ( taraf perombakan jauh), tripohenist ( taraf
perombakan menengah dan sulfihemist ( mengandung bahan sulfuric , pH rendah) dan
tanah alluvial yang tertimbun gambut thaptohistic ( tropic) fluvaquent (
Notohadiprawito dan Louhennapessy 1993).
Sagu paling baik bila
ditanam pada tanah yang mempunyai pengaruh pasang surut, terutama bila air
pasang tersebut merupakan air segar. Lingkungan yang baik untuk pertumbuhan sagu adalah daerah yang
berlumpur, dimana akar napas tidak terendam, kaya mineral dan bahan organik,
air tanah berwarna cokelat dan bereaksi agak asam (Flach, 1977). Selanjutnya
dikatakan habitat yang demikian cocok untuk pertumbuhan mikroorganisme yang
sangat berguna bagi pertumbuhan tanaman sagu.
Pada tanah-tanah yang tidak cukup mengandung mikroorganisme pertumbuhan
sagu kurang baik. Selain itu pertumbuhan
sagu juga dipengaruhi oleh adanya unsur hara yang disuplai dari air tawar
terutama unsur P, K, Ca, dan Mg. Apabila
akar napas sagu terendam terus menerus, maka pertumbuhan sagu terhambat dan
pembentukan aci atau karbohidrat dalam batang juga terhambat.
Selain kondisi
tersebut di atas, sagu juga dapat tumbuh pada tanah-tanah organik akan tetapi
sagu yang tumbuh pada kondisi tanah demikian menunjukkan berbagai gejala
kekahatan beberapa unsur hara tertentu yang ditandai dengan kurangnya jumlah
daun dan umur sagu akan lebih panjang yaitu sekitar 15 sampai 17 tahun (Flach, 1977). Sagu banyak juga yang tumbuh dengan baik
secara alamiah pada tanah liat yang berwarna dan kaya akan bahan-bahan organik
seperti di pinggir hutan mangrove atau nipah.
Selain itu, sagu juga dapat tumbuh dengan tanah vulkanik, latosol,
andosol, podsolik merah kuning, alluvial, hidromorfik kelabu dan tipe-tipe
tanah lainnya (Manan et al., 1984 dalam Haryanto dan Pangloli,
1992).
Tanaman sagu membutuhkan
air yang cukup, namun penggenangan permanen dapat mengganggu pertumbuhan sagu.
Sagu tumbuh di daerah rawa yang berair tawar atau daerah rawa yang bergambut
dan di daerah sepanjang aliran sungai, sekitar sumber air, atau di hutan rawa
yang kadar garamnya tidak terlalu tinggi dan tanah mineral di rawa-rawa air
tawar dengan kandungan tanah liat > 70% dan bahan organik 30%. Pertumbuhan
sagu yang paling baik adalah pada tanah liat kuning coklat atau hitam dengan
kadar bahan organik tinggi. Sagu dapat tumbuh pada tanah vulkanik, latosol,
andosol, podsolik merah kuning, alluvial, hidromorfik kelabu dan tipe-tipe
tanah lainnya. Sagu mampu tumbuh pada lahan yang memiliki keasaman tinggi.
Pertumbuhan yang paling baik terjadi pada tanah yang kadar bahan organiknya
tinggi dan bereaksi sedikit asam pH 5,5 – 6,5.
Lingkungan tumbuh tanaman sagu secara umum:
- Berlumpur
- Kaya mineral
- Kaya bahan organik
- Air tanah berwarna coklat, dan
- Bereaksi agak masam à pH 5,5-6,5
Menurut Turukay (1986) 43%
luasan sagu terdapat dilahan kering yang lembab, 30% dirawa dan sisanya ditepi
sungai. Menurut Notohadiprawiro dan Louhennapessy (1993) habitat asli sagu
ialah tepi parit atau sungai yang becek serta berlumpur tetapi secara berkala
mongering. Pada lahan keing yang lembab, tanaman sagu kalah bersaing dengan
tumbuhan hutan lainnya, akibatnya jumlah anakan berkurang. Namun demikian kadar
patinya tinggi (Flach 1997).
Tanaman
sagu merupakan tanaman yang berkembangbiak dengan menghasilkan anakan. Dalam
satu indukan tanaman sagu mampu menghasilkan anakan yang cukup banyak. Pada
umur 4-5 tahun, anakan sagu mulai membentuk batang, kemudian pada sekitar
batang bagian bawah tumbuh tunas-tunas yang berkembang menjadi anakan (sucker)
(Bintoro, 2008). Flach (1983) dalam Bintoro (2008) mengatakan, pada kondisi
tanaman yang baik setiap 3-4 tahun dua anakan akan berkembang menjadi pohon.
Flach
et al (1986) mengemukakan lima fase pertumbuhan sagu 1) fase awal yaitu dari perkecambahan sampai
dua tahun pertama; 2) fase roset yang dimulai dari dua daun pertama sampai daun
dewasa pertama yakni 3,5 – 4 tahun; 3) fase pertumbuhan batang; 4) fase
pembentukan buah; 5) fase pembentukan buah.
Pietries
(1966) dan Louhennapessy (1993) membagi enam fase pertumbuhan yaitu fase
semai/anakan; fase sapihan; fase tihang; fase pohon dan fase masak tebang dan
fase lewat masa tebang, sedangkan fase masak tebang terdiri atas fase putus
duri, fase daun pendek, fase jantng dan fase sirih buah.
G.
Perbanyakan Tanaman Sagu
Teknologi
perbanyakan tanaman sagu dapat dilakuan dengan metode generatif dan vegetatif.
Secara generatif yaitu dengan menggunakan biji yang berasal dari buah yang
sudah tua dan rontok dari pohonnya. Biji yang digunakan adalah biji yang
berasal dari pohon induk yang baik, yang subur dan produksinya tinggi.
Perbanyakan tanaman sagu
secara vegetatif dapat dilakukan dengan menggunakan bibit berupa anakan yang
melekat pada pangkal batang induknya yang disebut dangkel atau abut (jangan
yang berasal dari stolon).
Syarat bibit untuk pembibitan cara
generatif adalah biji yang digunakan sudah tua, tidak cacat fisik, besarnya
rata-rata dan bertunas. Syarat bibit untuk pembibitan cara vegetatif adalah
berasal dari tunas atau anakan yang umurnya kurang dari 1 tahun, dengan
diameter 10-13 cm dan berat 2-3 kg. Tinggi anakan +1 meter dan punya
pucuk daun 3-4 lembar.
Penyiapan Benih
atau Bibit
a). Cara generatif
Pembiakan generatif dalah
pembiakan dengan menggunakan benih. Pembiakan generative memiliki beberapa
kelemahan antara lain daya kecambah rendah dan tanaman hasil pembiakan
generatif belum tentu sama dengan
tanaman induknya.
Biji yang digunakan berasal
dari buah yang sudah tua dan jatuh/rontok dari pohon induk yang baik, yaitu
subur dan produksinya tinggi, tumbuh pada lahan yang wajar serta produksi klon
rata-rata tinggi. Biji/buah yang diambil tersebut adalah
Usman (1996) telah mencoba
mengecambahkan benih sagu tanpa dibuang kulitnya dibandingkan benih yang
dibuang kulitnya. Kedua macam benih tersebut diberi perlakuan perendaman air 24
jam, diolesi zat pengatur tumbuh dan direndam selama 8 – 40 jam. Benih tanpa
dikupas kulitnya kemudian direndam air hanya berkecambah 1,43 % sedang benih
yang direndam ZPT daya kecambahnya mencapai 4-5 %. Benih yang dikupas kulitnya
dapat berkecambah lebih banyak yaitu4 - 6 %.
b). Cara Vegetatif
Pembiakan secara vegetatif dapat dilakukan
dengan menggunakan bibit berupa anakan yang melekat pada pangkal batang
induknya. Anakan sagu yang akan digunakan sebagai biibit hendaknya diambil dari
induk sagu yang produksi patinya tinggi, bibit masih segar dengan pelepah daun
masih hijau, bibit sudah cukup tua dicirikan dengan bonggol/banir yang cukup
keras, pelepah dan daun masih hidup, mempunyai perakaran cukup, panjang pelepah
minimal 30 cm, dna tidak terserang hama penyakit serta banir berbentuk L (
Bintoro 2008).
Adapun cara pengadaan adalah sebagai berikut :
- Pengambilan dengkel dipilih yang terletak di permukaan atas.
- Pemotongan dilakukan di sisi kiri dan kanan sedalam 30 cm, tanpa membuang akar serabutnya.
- Dangkel yang telah dipotong, dibersihkan dari daun-daun dan ditempatkan pada tempat yang mendapat cahaya matahari langsung dengan bagian permukaan belahan tepat pada tempat di mana cahaya matahari jatuh, selama 1 jam.
- Luka bekas irisan dangkel yang msih tertanam segera dilumuri dengan zat penutup luka (seperti : TB-1982 atau Acid Free Coalteer) untuk mencegah hama dan penyakit.
- Bibit sagu direndam dalam air aerobic selama 3-4 minggu. Setelah itu bibit ditanam.
- Penyiapan dangkel sebaiknya dilakukan pada waktu menjelang sore hari, kemudian pada sore hari dangkel dikumpulkan dan pada waktu malam hari diangkut ke lahan, untuk menghindari kerusakan dangkel oleh cahaya matahari.
Setelah 3 bulan dipersemaian bibit diangkut dan
dipindahkan ke lapangan tempat dilakukanya penanaman. Pada penanaman
dilapangan, terlebih dahulu di-lakukan pengajiran hal ini dimaksud untuk
menandai tempat dibuatnya lubang tanam beserta penentuan jarak tanam. Jarak
tanam antar ajir 10 m x 10 m bila pada kebun diusahakan sistem tanam
monokultur, tetapi bila diusahakan dengan tumpang sari jarak tanam yang
digunakan antar ajir 10 m x 15 m (Bintoro, 2008).
METODELOGI KERJA
Penanaman
Bibit Sagu pada Persemaian Rakit
Waktu
dan Tempat
Percobaan di laksanakam pada hari sabtu, 14
september 2013 di lahan budidaya sagu kampus Gunung gede program diploma IPB.
Bahan
dan Alat
Bahan yang di gunakan dalam percobaan pertama
adalah sukcer dengan bobot kurang dari 2 kg dan 2-4 kg yang diambil dari
tanaman sagu dewasa, antracol ( fungisida) dan air. Alat yang digunakan adalah
bambu, pisau atau golok, kawat, paku, tali, ember, gergaji dan peralatan
budidaya lainnya.
Metode
percobaan
Percobaan
dilaksanakan menggunakan rencana percobaan acak kelompok dengan ulangan 20 dan 40 satuan percobaan. Perlakuan yang
diberikan adalah media rakit dengan bobot sucker < 2 kg dan media rakit
dengan bobot sucker 2-4 kg.
Pelaksanaan
percobaan
Pengambilan
sucker
Sucker
bentuk “L” diambil dari induk sagu dengan kriteria :
1.
Diambil dari tanaman
induk yang telah dupanen.
2.
Berasal dari jenis sagu
molat (tidak berduri).
3.
Bobot sucker sagu <
2kg dan 2-4 kg.
4.
Bebas dari serangan
hama dan penyakit.
5.
Sucker dibersihkan dari
tanah yang masih menempel.
6.
Akar sucker dipangkas
dan disisakan kurang lebih 4-5 cm.
7.
Bagian tajuk sucker
dipangkas hingga panjangnya 30 cm dari banirnya.
Sucker
diletakkan pada tempat teduh yang terhindar dari sinar matahari langsung untuk
menghindari transpirasi yang berlebihan sebelum bibit dipindahkan kepersemaian.
Pemangkasan akar bertujuan untuk mempercepat terinduksinya akar-akar baru yang
bermanfaat bagi bibit sagu. Pemangkasan tajuk ditujukan untuk menhindari
transpirasi berlebihan dan mempercepat tumbuhnya tunas daun baru pada sucker
saat persemaian.
Pembuatan rakit
Sebelum persemaian bibit sagu, terlebih dahulu
dibuat media rakit dari potongan bambu dengan ukuran 2,5 m x 1 m x 30 cm.
Potongan bambu disusun bertingkat dengan 3 bagian. Potongan bambu yang
dibutuhkan untuk membuat satu rakit adalah potongan bambu ukuran 160 cm
sebanyak 4 batang untuk tiang , Potongan bambu ukuran 100 cm sebanyak 4 batang
untuk lebar rakit, Potongan bambu ukuran 135 cm sebanyak 5 batang, belah menjadi
9 bagian untuk panjang rakit dan 14 belahan kecil bambu ukuran 85 cm.
Selanjutnya lubang dibuat pada tiang, kemudian bambu panjang dan lebar rakit
dimasukkan kedalamnya. Belahan bambu ukuran 85 cm dipasang secara melintang dan
sejajar diatas bambu panjang serta belahan bambu ukuran 235 cm dipasang secara
membujur. Rakit disusun menggunakan paku
dan kawat agar kokoh. Setelah rakit siap rakit dimasukkan kedalam kolam yang
telah disiapkan.
Persemaian
Sebelum
sucker diletakkan pada persemaian rakit, terlebih dahulu sucker direndam dalam
fungisida ( antracol ) selama 5 menit dengan konsentrasi 2 g/liter air.
Kemudian sucker diletakkan ( ditanam ) diatas rakit dengan posisi akar terendam
air. Lama persemaian untuk sucker sagu yaitu 3-4 bulan atau sampai keluar 3-4
daun baru dengan perakaran yang banyak.
Pemeliharaan
Bibit
yang telah ditanam pada rakit dijaga agar tetap tegak. Ketinggian air kolam
diatur agar tetap menggenangi akar dan tidak melewati leher banir. Bibit yang
mati dipindahkan dari rakit/dibuang.
Pengamatan
Setiap
minggu bibit yang telah disemai diamati dan diukur. Peubah yang diamati adalah
:
1.
Daya tumbuh (%)
Daya
tumbuh bibit dihitung berdasarkan jumlah bibit yang bertahan hidup dan tumbuh
dengan baik untuk setiap perlakuan sampai kemunculan daun ketiga dengan rumus :
Daya
tumbuh
2.
Jumlah daun
Daun
dan anak daun yang tumbuh dihitung setiap minggu.
Penanaman
Bibit Sagu pada Persemaian Polibag
Waktu
dan Tempat
Percobaan
akan dilaksanakan pada tanggal 21 september 2013 dikebun percobaan program
diploma IPB.
Bahan
dan Alat
Bahan
yang digunakan dalam percobaan pertama adalah sucker sagu dengan bobot < 2kg
dan 2-4 kg yang diambil dari tanaman sagu yang telah dewasa, pupuk kandang, pupuk N, (dosis 0,3 dan 6
g/sucker). Pupuk P dan K diberikan untuk keseluruhan satuan percobaan. Alat
yang digunakan adalah polibag, bambu,
parang, cangkul, kored dan gembor.
Metode
Percobaan
Percobaan
dilaksanakan menggunakan rancangan percobaan acak kelompok dengan dua faktor. Faktor yang
pertama adalah pemberian dosis pupuk N yang terdiri atas 3 taraf yaitu 0,3 dan
6 g/bibit. Faktor yang kedua yaitu bobot
sucker yaitu < 2 kg dan 2-4 kg.
Berdasarkan
kombinasi dari taraf tiap-tiap faktor maksimal didapatkan 6 perlakuan sebagai
berikut.
1. Sucker
bobot < 2kg tanpa pemupukan N.
2. Sucker
bobot < 2kg dosis n 3 gram per bibit.
3. Sucker
bobot < 2 kg dosis 6 gram per bibit.
4. Sucker
bobot 2-4 kg tanpa pemupukan N.
5. Sucker
bobot 2-4 kg dosis N 3 gram per bibit.
6. Sucker
bobot 2-4 kg dosis N 6 gram per bibit.
Populasi
setiap unit percobaan sebanyak 20 sucker sehingga dibutuhkan 360 sucker.
Pelaksanaan
Percobaan
Persemaian di polibag.
Komposisi
media tanam terdiri atas tanah dan pupuk kandang dengan perbandingan 1:1. Pupuk
kandang yang digunakan adalah kotoran sapi yang telah terdekomposisi sempurna.
Tanah dan pupuk kandang dicampur hingga rata dan dimasukkan kedalam polibag
yang berukuran 40 x 40 cm.
Penanaman
Sebelum
ditanam, sucker dicelupkan terlebih dahulu kedalam larutan fungisida selama 5
menit dengan konsentrasi 2 g/l air. Kemudian sucker ditanam dengan tahapan
penanaman sebagai berikut.
a. Isi
polibag dengan media tanam sebanyak 1/2 bagian.
b. Daun
sucker sagu dipangkas dan disisakan 30-40 cm.
c. Akar
sucker sagu juga dipangkas dan disisakan 5-10 cm.
d. Sucker
dimasukkan kedalam polibag.
e. Tambahkan
furadan sebagai fungisida.
f. Timbun
bibit dengan tanah ( tidan melewati leher banir ).
g. Polibag
disusun di tempat teduh sesuai perlakuan.
h. Semprotkan
fungisida dengan dosis 2 gram per liter air.
Pemupukan
Pada
2 MST, Pupuk N, P, K diaplikasikan sesuai dengan perlakuan dengan cara
ditaburkan secara melingkar sekitar 4 cm dari bagian banir bibit, kemudian
ditutup dengan tanah. Dosis pupuk P dan K adalah 5 gram per bibit.
Pemeliharaan
Penyiraman dilakukan setiap hari (
pagi dan sore ) agar bibit tidak kering. Selain penyiraman, dilakukan juga
pembersihan gulma dan pemberian fungisida. Bibit yang mati dipindahkan dan
dibuang.
Pengamatan
Bibit
yang telah ditanam kemudian diamati setiap minggu. Peubah yang diamati yaitu.
1.
Daya tumbuh (%)
Persentase
hidup bibit dihitung berdasarkan jumlah bibit yang bertahan hidup dan tumbuh
untuk setiap perlakuan sampai kemunculan daun ketiga dengan rumus :
Daya tumbuh x100
%
2.
Jumlah daun
Jumlah
daun yang diamati adalah daun yang telah membuka secara sempurna. Pengamatan
dilakukan setiap minggu.
3.
Panjang akar
Panjang
akar diukur pada panjang akar terpanjang. Pengamatan dilakukan pada akhir
percobaan.
Penanaman
Bibit Sagu
Bahan
dan Metode
Penanaman
di laksanakan pada tanggal 7 Desember 2013 dilahan budidaya tanaman sagu
program diploma IPB
Bahan
dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penamanan adalah
bibit sagu dengan bobot <2 kg yang tlah tumbuh daun secara sempurna. Bibit
diambil dari tanaman sagu yang dewasa dan pupuk SP- 36 sebanyak 5 gr dan furadan untuk masing -
masing satuan percobaan. Alat yang digunakan adalah, gunting, cangkul, alat
tulis dan ajir.
Metode percobaan
Bibit
dengan bobot < 2 kg ditanam pada lahan percobaan dengan dua perlakuan (rasio
50:50). Perlakuan pertama adalah bibit
ditanam dengan cara di beri sungkup atau tutup dengan kertas karton sedangkan
perlakuan yang kedua yaitu bibit tidak
diberi sungkup/ tutup. Setiap perlakuan di ulang 3 kali sehingga dibutuhkan
30 bibit dengan bobot <2 kg.
Pelaksanaan percobaan
Pembuatan lubang tanam
Sebelum penanaman, terlebih dahulu lubang tanam
disiapkan. Lubang tanam dibuat dengan ukuran pxlxt 30cmx30cmx30cm dan jarak
antar lubang 8mx8m. Top soil dan sub soil dipisah untuk penimbunan. Lubang
dibiarkan selama satu minggu agar bahan organik tersedia kembali.
Penanaman
Bibit sagu yang ditanam harus sudah memiliki 2-3 helai daun
baru. Sucker yang memiliki banyak
pelepah di potong dan disisakan tiga batang pelepsh serts dsun pada bibit
dipotong setengah untuk mengurangi transpirasi.h disiapkan sebelumnya. Ukuran
lubang tanam yang dibuat adalah 30 cm x 30 cm x 30 cm. Penanaman dilakukan
dengan membenamkan banir kedalam lubang tanam. Furadan diberikan sebagai fungisida.
Bibit sagu ditanam tegak dan diberi palang untuk memperkokoh bibit kemudian
bibit ditimbun dengan top soil terlebih dahulu (karena dalam top soil
terkandung lebih banyak bahan organik) kemudian sub soil diatasnya. Leher banir
tidak boleh tertimbun tanah agar terhindar dari pembusukan. Pada perlakuan
ditutup kertas, bibit yang telah ditanam kemudian ditutup dengan sungkup dari
kertas karton yang telah disiapkan.
Pengamatan
Pada minggu berikutnya , bibit yang telah
ditanam kemudian diamati hidup/tidaknya dan dihitung daya tumbuh dengan rumus
berikut.
Daya tumbuh bibit
HASIL DAN PEMBAHASAN
Polybag
Melihat pentingnya tanaman sagu dewasa ini dan masa
yang akan datang, seiring dengan meningkatnya kebutuhan penduduk dunia akan
pangan dan energi, maka perlu dipikirkan usaha peningkatan kualitas dan
kuantitas produksi sagu secara tepat agar sasaran yang diinginkan dapat
tercapai. Salah satu diantaranya adalah bahan perbanyakan tanaman berupa bibit,
untuk itu perlu tindakan kultur teknis atau perawatan bibit yang baik antara
lain dengan jalan pemupukan pada waktu di pembibitan. Pembibitan memungkinkan
pemilihan bibit yang sehat untuk ditanam di lapangan, sehingga akan sangat
meningkatkan kelangsungan hidup bibit transplantasi dan meningkatkan
keseragaman pertumbuhan sagu. Percobaan bertujuan untuk mempelajari pengaruh
dan mencari dosis pupuk N yang memberikan hasil terbaik terhadap pertumbuhan
awal bibit sagu di persemaian dengan sistem polibag.
Perlakuan
|
Tinggi
Tanaman (cm)
|
Rata-rata
|
|||||||
U1
|
U2
|
U3
|
U4
|
U5
|
U6
|
U7
|
U8
|
||
< 2kg 0 g
N/sucker
|
33,7
|
33,5
|
39
|
26,3
|
27,7
|
31,7
|
31,7
|
20,3
|
30,5
|
< 2 kg N
3g/sucker
|
25,7
|
34,4
|
39,5
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
33,2
|
< 2 kg N
6g/sucker
|
36,7
|
28,5
|
39,3
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
34,8
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
2-4 kg -N
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
2-4 kg N
3g/sucker
|
42,1
|
42,9
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
42,5
|
2-4 kg N
6g/sucker
|
-
|
|
|
|
|
|
|
|
-
|
Pada
tabel diatas dapat diketahui bahwa rata- rata tinggi tanaman tertinggi pada
bibit < 2 kg berada pada bibit dengan perlakuan dosis pupuk N 6 g/ polybag
yaitu 34,8 cm, tertinggi kedua pada bibit perlakuan dosis pupuk N 3g/polybag
yaitu 33,2 cm dan tinggi tanaman terendah berada pada bibit perlakuan tanpa
pupuk yaitu 30,5 cm. Namun dari ketiga perlakuan tidak menunjukkan perbedaan
nyata. Bibit dengan perlakuan tanpa pupuk N memiliki tinggi rata- rata hampir
sama dengan bibit dengan pemberian pupuk. Hal ini berarti pemupukan tidak
terlalu berpengaruh terhadap pertumbuhan tinggi tanaman. Pemupukan bahkan
menjadikan tanaman manja sehingga akar kurang berkembang dan tunas lambat
terbentuk. Padahal tanaman sagu sendiri tidak bersifat manja dan bisa hidup
dilahan marjinal.
Untuk
bibit yang berukuran > 2 kg memiliki tinggi rata-rata 42,5 cm. Bibit > 2
kg menunjukkan pertumbuhan tinggi yang lebih cepat daripada bibit berukuran
< 2 kg. Hal ini disebabkan bibit yang berukuran > 2 kg memiliki daya
tumbuh yang lebih baik, tahan terhadap serangan hama dan lebih mampu
menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan. Selain itu, bibit yang
berukuran > 2 kg memiliki banir yang lebih besar sehingga cadangan
makanannya lebih banyak dan mencukupi untuk pertumbuhan bibit tersebut. Jadi
dapat dikatakan bahwa bibit berukuran > 2kg memiliki pertumbuhan tinggi yang
lebih baik daripada bibit berukuran < 2kg.
Perlakuan
|
Persentase Muncul Daun (%)
|
Rata-rata
|
|||||||
U1
|
U2
|
U3
|
U4
|
U5
|
U6
|
U7
|
U8
|
||
<2kg -N
|
33,8
|
0
|
13,6
|
0
|
0
|
26,9
|
0
|
0
|
9,3
|
< 2 kg N 3g/sucker
|
0
|
0
|
0
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
0
|
< 2 kg N 6g/sucker
|
29,2
|
0
|
0
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
9,7
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
2-4 kg -N
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
2-4 kg N 3g/sucker
|
17,4
|
38,2
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
27,8
|
2-4 kg N 6g/sucker
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Daun merupakan salah satu organ yang
dimiliki tanaman yang bermanfaat untuk melakukan sebagian besar kegiatan
pengubahan ikatan-ikatan kimia sehingga dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Daun
memiliki stomata dan klorofil yang berfungsi saat daun akan melakukan
fotosintesis.
Klorofil atau biasa disebut dengan
zat hijau daun, menjadi bagian dari daun yang menyerap radiasi matahari. Agar
dapat memanfaatkan radiasi matahari secara efisien, tanaman budidaya harus
dapat menyerap sebagian besar radiasi tersebut dengan jaringan fotositesisnya
yang hijau.
Spesies tanaman budidaya yang
efisien cenderung menginvestasikan sebagian besar awal pertumbuhan mereka dalam
bentuk penambahan luas daun, yang berakibat pemanfaatan radiasi matahari yang
efisien. Perkembangan luas daun pada tanaman budidaya menyebabkan peningkatan
penyerapan cahaya oleh daun. Penyerapan radiasi tersebut dipengaruhi oleh
indeks luas daun pada tanaman (Leaf Area Index). Indeks luas daun menunjukan
rasio permukaan daun terhadap luas tanah yang ditempati oleh tanaman budidaya.
Daun menyerap cahaya matahari langsung maupun tidak langsung.
Dari
tabel persentase daun muncul bobot sucker < 2 kg dapat diketahui bahwa pada
perlakuan 0 g N data tertinggi terdapat pada ulangan pertama kelompok 1 yaitu
33,8 % . Pada perlakuan 3 g N tidak ada
data daun muncul. Perlakuan ketiga yaitu perlakuan 6 g N hanya ada satu data
yaitu pada ulangan 1 yakni 29,2%. Secara rata-rata persentase daun muncul
tertinggi berada pada bibit < 2 kg sebesar 9,7%, sedangkan pada bibit
<2kg tanpa N hanya sebesar 9,3%. Penggunaan pupuk N ini tidak memberikan
pengaruh nyata dikarenakan selama pratikum bibit tersebut kering atau
kekurangan air sehingga tidak memungkinkan muncul daun bahkan jika daun muncul
akan mengering dan mati.
Sedangkan
untuk bibit > 2kg hanya terdapat dua
ulangan pada perlakuan pupuk N 3 g/polybag. Dengan demikian rata-rata
persentase daun muncul sebesar 27,8%. Pada kenyataannya kita tidak bisa
membandingkan manakah ukuran bibit dan dengan perlakuan apakah yang paling baik
digunakan dalam budidaya. Hal ini disebabkan tidak seimbangnya ulangan serta
perlakuan yang diujicobakan. Namun, bibit yang berukuran besar biasanya lebih
unggul.
Perlakuan
|
Persentase Bibit Hidup (%)
|
Rata-rata
|
|||||||
U1
|
U2
|
U3
|
U4
|
U5
|
U6
|
U7
|
U8
|
||
<2kg -N
|
55,6
|
39,4
|
48,9
|
32,2
|
30,5
|
46,7
|
46,7
|
66,2
|
45,8
|
< 2 kg N 3g/sucker
|
28,9
|
23,3
|
68,3
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
40,2
|
< 2 kg N 6g/sucker
|
35,5
|
27,2
|
28,3
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
30,3
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
2-4 kg -N
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
2-4 kg N 3g/sucker
|
57
|
43,3
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
50,2
|
2-4 kg N 6g/sucker
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Dari
tabel persentase bibit hidup anakan bobot < 2 kg dapat diketahui bahwa pada
perlakuan 0 g N data tertinggi terdapat pada ulangan pertama dengan nilai
55,56% dan data terendahnya terdapat pada ulangan kelima dengan nilai 30,5%.
Pada perlakuan 3 g N data tertinggi terdapat pada perlakuan kedelapan dengan
nilai 68,33% dan data terendah terendah terdapat pada perlakuan ketiga dengan
nilai 23,33%. Perlakuan ketiga yaitu perlakuan 6 g N data tertinggi terdapat
pada ulangan pertama dengan nilai 35,56% dan data terendah terdapat pada
ulangan kedua dengan nilai 27,22%. Dari
ketiga perlakuan tersebut rata-rata persentase bibit hidup tertinggi berada
pada perlakuan bibit tanpa N dengan nilai 45,8 %. Persentase bibit hidup tertinggi kedua berada
pada perlakuan 40,2 % dan persentase bibit hidup terendah terdapat pada
perlakuan pupuk N 6 g/polybag. Hal ini menunjukkan tanah yang digunakan sudah
cukup subur dimana persentase bibit hidup tanpa perlakuan N menunjukkan angka yang lebih tinggi.
Untuk
bibit > 2kg, dari tabel persentase bibit hidup anakan diketahui bahwa pada
hanya terdapat satu perlakuan yakni dengan pemberian pupuk N 3 g/polybag dan
hanya dua ulangan saja. Persentase bibit hidup tertinggi terdapat pada ulangan
pertama yakni 57%. Hal ini didukung dengan manajemen pemeliharaan yang lebih
baik ketimbang manajemen dari ulangan kedua.
Untuk
perbandingan antara penggunaan bibit berdasarkan ukuran anakan dapat
disimpulkan bahwa penggunaan anakan > 2kg lebih baik daripada bibit < 2kg
. Hal ini dibuktikan dari tingkat persentase bibit hidup yang ditunjukannya. Dimana bibit > 2kg
memiliki persentase tertinggi 50,2 % dibandingkan bibit < 2kg hanya memiliki
persentase tertinggi sebesar 45,8%.
Dari hasil percobaan pemberian pupuk pada bibit sagu
dengan dosis 3 dan 6 gram tiap polybag
memberikan pengaruh tidak berbeda nyata terhadap pertumbuhan awal bibit sagu
tanpa pemberian pupuk N. Dari ketiga parameter yakni tinggi bibit, persentase
hidup bibit maupun persentase daun muncul pada bibit yang diberikan pupuk N
tidak menunjukkan perubahan maupun perbedaan dengan bibit yang diberi perlakuan
kontrol. Sagu memang membutuhkan unsur hara dalam pertumbuhannya, dengan
tercukupi unsur hara maka akan mendorong tingkat pertumbuhan dari bibit sagu
tersebut. Namun, jika kekurangan akan menyebabkan pertumbuhan bibit terhambat sedangkan
jika kelebihan akan menyebabkan keracunan sehingga bibit sagu tersebut akan
mengalami kematian atau bahkan kerdil. Faktor lain yang ikut mempengaruhi tidak
berpengaruhnya pemupukan N dari sisi jenis tanaman yaitu sagu merupakan tanaman
tahunan sehingga pengaruh pemupukan tidak dapat langsung terlihat dalam waktu
singkat. Pertumbuhan awal bibit sagu juga masih dipengaruhi oleh cadangan
makanan pada banir dan pengaruh lingkungan yang kurang mendukung bagi
pertumbuhan bibit sagu, dimana kurangnya intensitas penyinaran matahari serta
tanah yang digunakan. Selain itu, kurangnya pemeliharaan juga menjadi faktor
pembatas dalam pertumbuhan bibit.
Untuk perbandingan antara bibit < 2kg dan > 2
kg dari segi tinggi, persentase bibit hidup dan persentase daun muncul
menunjukkan perbedaan yang signifikan. Bibit yang berukuran lebih besar
memiliki tingkat pertumbuhan dan perkembangan yang lebih baik. Hal ini
dibuktikan dengan bibit yang besar lebih banyak hidup, lebih tinggi tanamannya
serta telah muncul daun, berbanding terbalik dengan bibit yang berukuran kecil.
Bibit yang besar pada umumnya telah memiliki perakaran yang kuat dan banyak
sehingga unsur hara dapat tercukupi yang mana dapat menopang pertumbuhan bibit
tersebut. Dengan demikan, bibit yang berukuran > 2kg lebih baik dan menjamin
daripada bibit yang berukuran < 2kg.
Rakit
Penyemaian
merupakan suatu tindakan budidaya tanaman yang diantaranya bertujuan untuk
mempercepat pertumbuhan vegetatif suatu bibit di dalam suatu wadah atau tempat
tertentu dengan suatu tindakan pemeliharaan tertentu. Sebelum persemaian, daun
tua dipangkas lebih dahulu dengan ketinggian pangkasan 30-50 cm dari banir agar
transpirasi dapat ditekan dan untuk mempercepat pemunculan calon tunas pertama
yang selanjutnya akan menjadi daun. Bibit sagu kemudian dicelupkan pada larutan
fungisida. Dalam pratikum kali ini menggunakan Antracol dengan dosis 2 g/l air.
Bibit direndam selama 5 menit lalu dikeringanginkan agar fungisida dapt
meresap.
Persemaian
bibit sagu dilakukan dengan menggunakan sistem kanal. Beberapa keuntungan
persemaian dengan menggunakan sistem kanal (air sebagai media) yaitu untuk
menghindari serangan hama ulat sagu yang menyerang titik tumbuh sewaktu bibit
terdapat di luar, pemeliharaan yang dilakukan lebih sedikit, selain itu
ketersediaan air merupakan syarat mutlak bagi pertumbuhan tanaman sagu,
sehingga akan menghasilkan nilai kemampuan tumbuh yang lebih tinggi. Bibit
disemai dalam suatu rakit yang terbuat dari pelepah sagu yang telah gugur yang
berukuran 0.5 m x 3 m. Setiap rakit dapat menampung 70-80 bibit. Hal ini
bertujuan agar sewaktu bibit sudah berumur tiga bulan dan siap ditanam, rakit
lebih ringan dan dapat ditarik dengan mudah menuju ke petak-petak yang akan
ditanam maupun disulam. Penyemaian bibit yang terlalu lama menyebabkan bibit
menjadi besar dan sulit untuk dicabut. Bibit yang bagus dalam waktu tiga bulan
setelah semai akan keluar dua sampai tiga helai daun. Bibit sagu yang bagus
untuk disemai mempunyai ciri-ciri antara lain bibit masih baru yakni dicirikan
oleh pelepah yang berwama hijau tua, tidak terkena serangan hama dan penyakit,
panjang pelepah minimal 30 cm, mempunyai perakaran yang cukup, bibit sudah
berumur agak tua dicirikan oleh kerasnya banir (bonggol bibit). Di persemaian,
pertumbuhan bibit sagu sering dijumpai tidak seragam. Perbedaan pertumbuhan
tiap-tiap bibit di persemaian selain ditentukan oleh bagus tidaknya suatu
bibit, juga ditentukan oleh ukuran bobot bibit, lama waktu penyimpanan dan umur
bibit. Ukuran bobot bibit berpengaruh terhadap banyak tidaknya kandungan pati
yang ada di dalam bonggol (banir) bibit. Kandungan pati yang terdapat di dalam
banir akan berfungsi sebagai cadangan makanan yang dibutuhkan pada saat
pertumbuhan terutama untuk pembentukan bagian vegetatif bibit pada saat di persemaian
Bibit
yang disemai pada musim hujan memiliki daya tumbuh yang lebih baik bila
dibandingkan dengan bibit yang disemai pada musim kemarau. Hal ini disebabkan
bibit yang disemai pada musim kemarau tunas daunnya lebih cepat mongering dan
sukar tumbuh.
Berikut
tabel hasil pengamatan bibit di rakit dengan ukuran bibit < 2kg dan > 2kg
Perlakuan
|
Tinggi
Tanaman (cm)
|
Rata-rata
|
|||||||||
U1
|
U2
|
U3
|
U4
|
U5
|
U6
|
U7
|
U8
|
U9
|
U10
|
||
<
2kg
|
54,3
|
59,2
|
52,4
|
46,2
|
48,6
|
53,2
|
36,4
|
36,4
|
38,5
|
38,5
|
46,37
|
>2kg
|
61,4
|
46,5
|
46,7
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
|
51,5
|
Pada tabel diatas dapat diketahui
bahwa terdapat dua perlakuan dirakit yakni bibit <2kg dan bibit
>2kg. Pada bibit < 2kg tinggi
maksimal yang dapat dicapai adalah 59,22 cm sedangkan pada bibit >2kg tinggi
maksimal yang dapat dicapai adalah 61,4 cm. Rata- rata bibit > 2kg
menunjukkan pertumbuhan yang lebih tinggi daripada bibit berukuran < 2kg
yakni 51,5 cm berbanding 46,37 cm. Hal ini karena bibit yang berukuran besar
lebih tahan dan kelangsungan hidup serta pertumbuhan hidupnya tinggi. Namun dalam persemaian bibit dirakit masih jauh
dari kata layak dimana posisi bibit tidak teratur dalam rakit, air menggenangi
akar nafas serta kurangnya pemeliharaan. Sehingga cadangan makanan yang
diperoleh rakit hanya cukup untuk hidup tanpa digunakan untuk pertumbuhan.
Dalam pratikum ini juga banyak ditemukan kasus bibit yang busuk sehingga mati
dan dibuang.
Perlakuan
|
Persentase
Muncul Daun (%)
|
Rata-rata
|
|||||||||
U1
|
U2
|
U3
|
U4
|
U5
|
U6
|
U7
|
U8
|
U9
|
U10
|
||
<
2kg
|
0
|
0
|
17,4
|
0
|
19
|
14,2
|
14,2
|
16,9
|
16,9
|
0
|
22,64
|
>2kg
|
35,2
|
85,8
|
0
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
60,5
|
Dari
tabel diatas dapat diketahui bahwa bibit < 2kg terdapat 10 ulangan. Persentase muncul daun tertinggi berada pada ulangan
VIII dan IX yakni 16,9 %. Sedangkan pada
bibit berukuran > 2kg terdapat dua ulangan dan persentase daun muncul terbanyak
berada pada ulangan ke-II yajni 85,8%. Sehingga apabila dilihat dari fakta
dilapangan, maka penggunaan bibit > 2kg lebih dianjurkan karena memiliki
persentase daun muncul rata-rata 60,5% sedangkan bibit < 2kg hanya memiliki
persentase muncul daun sebesar 22,64 %. Angka ini sangat berbeda jauh. Hal ini disebabkan bibit > 2kg lebih tahan
dalam kondisi lingkungan marginal sehingga tidak menghambat pertumbuhan daun
pada bibit tersebut.
Perlakuan
|
Persentase Bibit Hidup (%)
|
Rata-rata
|
|||||||||
|
U1
|
U2
|
U3
|
U4
|
U5
|
U6
|
U7
|
U8
|
U9
|
U10
|
|
<
2kg
|
62,2
|
47,2
|
60
|
42,2
|
31,4
|
58,3
|
19,7
|
19,7
|
62,8
|
62,8
|
46,6
|
>2kg
|
42,9
|
57,2
|
52,5
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
50,9
|
Pada tabel persentase bibit hidup
diatas dapat diketahui bahwa bibit < 2kg ada 10 ulangan dengan
persentasetertinggi pada ulangan ke-9 dan ke-10 dengan nilai 62,8%. Sedangkan
pada bibit >2kg terdapat 3 ulangan dengan persentase tertinggi pada ulangan
ke-2 yakni 57,2%. Dari perbandingan ukuran bibit yang digunakan, bibit dengan
ukuran lebih besar menunjukkan persentase bibit hidup lebih besar yakni 50,9%
dibandingkan bibit berukuran kecil yaitu 46,6%. Hal ini dikarenakan bibit yang
besar memiliki ketahanan terhadap perubahan lingkungan sekitar dan lebih mampu
beradaptasi sehingga lebih banyak bibit yang hidup.
Dari pratikum yang telah dilaksanakan
serta perbandingan ketiga tabel diatas , perbandingan antara bibit kecil dan
besar terdapat perbedaan signifikan pada peubah persentase daun muncul. Data
tabel menunjukkan persentase daun muncul pada bibit < 2kg sebesar 22,64% dan
pada bibit > 2kg sebesar 60,5%. Jadi terdapat selisih sebesar 37,86%. Namun
, untuk peubah tinggi tanaman dan persentase bibit hidup tidak terlalu besar
selisihnya. Dimana bibit kecil juga menunjukkan pertumbuhan yang hampir sama
dengan bibit yang berukuran besar. Namun pencapaian maksimal tetap pada bibit
yang berukuran besar. Data tabel menunjukkan tinggi tanaman rata-rata pada
bibit <2kg sebesar 46,37% dan pada bibit > 2kg sebesar 51,5%. Hal ini dikarenakan bibit yang berukuran
besar telah siap dijadikan anakan untuk disemai dan ditanam dilapangan.
Perbandingan persemaian di polybag dan rakit
Persemaian
|
Tinggi
Tanaman (cm)
|
Polibag
|
35,25
|
Rakit
|
48,9
|
Dari tabel diatas dapat diketahui
bahwa tinggi tanaman di rakit lebih unggul yakni 48,9 cm dibandingkan bibit
yang disemai dipolybag yakni hanya 35,25
cm. Jadi untuk pertumbuhan tinggi tanaman lebih unggul melakukan persemaian di
rakit daripada di polybag.
Persemaian
|
Persentase
daun muncul (%)
|
Polibag
|
11,7
|
Rakit
|
41,57
|
Dari tabel diatas dapat diketahui
bahwa persentase daun muncul dipolybag sebesar 11,7 %. Hal ini sangat berbeda
nyata dengan persentase daun muncul yang disemai dirakit yakni sebesar 41,57%.
Hal ini mennunjukan bahwa persemaian di rakit lebih menguntungkan dari
persemaian di polybag jika dilihat dari
segi persentase daun muncul.
Persemaian
|
Persentase
bibit hidup (%)
|
Polibag
|
41,6
|
Rakit
|
48,75
|
Dari tabel diatas dapat diketahui
bahwa persentase bibit hidup di rakit lebih tinggi yakni 48,75 % dibandingkan
di polybag yang hanya 41,6%. Maka dapat dikatakan bahwa persemaian di rakit
lebih baik dari segi kelangsungan hidup bibit jika dibandingkan persemaian
bibit di polybag.
Dari pratikum yang telah
dilaksanakan dapat diambil kesimpulan bahwa keberhasilan persemaian sistem
rakit lebih tinggi daripada sistem polybag atau ditanah. Hal ini disebabkan
pelukaan pada bibit akibat pemisahan dari induknya sering menjadi sarang bagi
hama. Pada saat direndam dalam rakit, hama yang menyerangbibit sagu tidak dapat
hidup.
Penanaman bibit sagu
Beberapa
hal yang perlu diperhatikan sebelum penanam sagu diantaranya pembuatan lubang
tanam, penentuan jarak tanam, pengangkutan bibit, persiapan alat dan bahan yang
diperlukan, pembersihan tempat untuk lubang tanam dari raning dan rumput dengan
tujuan mengurangi serangan hama penyakit, serta memperhatikan iklim. Menurut
kebiasaan petani Riau dan Maluku, penanaman sagu dilakukan pada awal usim
penghujan.
Penanaman
sagu ada dua metode, yaitu secara konvensional dan penanaman menurut blok
(modern). Metode konvensional pada umumnya dilakukan oleh petani sagu,
sedangkan penanaman menurut blok pada saat ini baru dirintis oleh perusahaan
perkebunan sagu.
Penanaman
dilakukan pada lubang-lubang tanam yang sudah disiapkan di lahan. Lubang tanam
dibuat dengan ukuran 30 x 30 x 30 cm. Pada lubang tanam itu ditempatkan
pancang-pancang bambu, tiap lubang dua pancang. Jarak tanam bervariasi antara 8
sampai 10 m, sehingga satu hektar hanya mampu menampung ± 150 batang. Sedangkan
jarak tanam yang dianggap ideal untuk Tuni: 8 x 8 m, Ihur: 9 x 9 m dan Molat: 7
x 7 m, sebab dalam jarak tanam tersebut tanaman sagu setelah tumbuh dan
berkembang dengan membentuk rumpun, lingkungan tumbuh dan ruang gerak yang
cukup dapat dicapai secara efektif.
Cara
menanam bibitnya adalah dengan jalan membenamkan dengkel sagu kedalam lubang
tanam, kemudian bagian pangkal ditutup dengan tanah remah bercampur gambut;
tanah penutup ini jangan ditekan, tetapi dengkel harus dibuat sedemikian rupa
sehingga tidak bisa bergerak. Agar bibit tidak goyah atau hanyut oleh air
pasang naik, maka bibit perlu diberi pemancang.
Berdasarkan
literatur diatas penanaman yang dilakukan pada saat praktikum adalah penanaman
secara konvensional, penanaman dilakukan pada lubang tanam yang sudah
disediakan sebelumnya. Pada saat penanaman bibit dimasukkan kedalam lubang
tanam dengan ukuran 30 x 30 x 30 cm, hati-hati pada saat penanaman jangan
sampai titik tumbuhnya tertutupi karena hal tersebut dapat mempengaruhi
pertumbuhan tanaman. Kemudian diberi pupuk dasar serta diberi ajir dengan tujuan
menegakkan bibit serta menghindari bibit hanyut ketika terjadi penggenangan.
PENUTUP
Kesimpulan
Dari
kegiatan pratikum yang telah dilaksanakan dapat diambil kesimpulan bahwa bibit yang palaing baik digunakan sebagai
anakan adalah bibit berukuran > 2kg. hal ini disebabkan bibit yang berukuran
agak besar ini memiliki daya hidup yang lebih tinggi dibandingkan bibit kecil.
Selain itu, cadangan makanan yang tersedia lebih banyak terdapat pada bibit
dengan ukuran banir yang lebih besar.
Untuk
pemberian pupuk sebaiknya harus disesuaikan dengan kebutuhan. Pupuk tidak boleh
kurang maupun berlebihan karena akan percuma. Tidak akan dapat diserap makanan.
Untuk
media persemaian, yang paling baik adalah media rakit dikarenakan hama yang
menyerang bibit yang tumbuh ditanah tidak dapat hidup jika diair. Selain
itu, sagu juga menginginkan lingkungan
yang basah yang sesuai dengan habitatnya di lapangan.
Saran
Adapun
saran yang dapat disampaikan penulis antara lain :
-
Gunakan bibit
yang unggul untuk disemai yakni bibit yang berbentuk L dengan ukuran bibit >
2kg
-
Sebaiknya lakukan
persemaian di rakit
-
Beri pupuk sesuai
kebutuhan saja alias tidak berlebih
-
Ciptakan
lingkungan sesuai habitat aslinya
-
Pada saat
penanaman dilapang usahakan tidak menutupi titik tumbuh sucker
-
Beri ajir silang
pada saat penanaman
DAFTAR PUSTAKA
Alfons,J. B. Dan
S.Bustaman.2005. Prospek dan Arah Pengembangan Sagu di Maluku.BPTP Maluku
Anonim. 2008. Metroxylon
sago. Dikutip dari http://en.wikipedia.org/wiki/Sago
Bintoro. 2008. Bercocok
Tanam Sagu. IPB Press. Bogor
______. MYJ. Purwanto,
dan A. Shandra. 2010. Sagu di Lahan Gambut. IPB Press. Bogor
Fajar, IA. Thesis
Pengelolaan Persemaian Bibit Sagu (Jvfelroxylon Sp) 01 Perkebunan PT. National
Timber And Forest Product Unit Btl Murni Sagu, Selat Panjang. Riau. http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/15428
diakses 19 Desember 2013
Flach, M. 1997. Sago Palm, Metroxylon sago Rottb. IPGRI. Rome, 76p
Flach, M.1983. Yield Potential of The Sago Palm,
Metroxylon sago Its Realisation. First International Sago Symposium. Kuching,
5-7 Juli 1976. Pp 157-177
Harsanto, P.B.,
1986. Budidaya dan Pengolahan Sagu. Kanisius.
Yogyakarta.
Haryanto, B. Dan Pangloli, P., 1992. Potensi dan Pemanfaatan Sagu. Kanisius.
Yogyakarta.
Hasan, BI.2011. Budidaya Tanaman Sagu dalam http://budidayatanamansagu/2011/11/budidaya-tanaman-sagu.htm diakses pada 12 Desember 2013
Notohadiprawiro, T dan J.E Louhennapessy. 1993. Potensi Sagu Dalam Penganekaragaman Bahan Pokok Ditinjau Dari Persyaratan Lahan. Pp 99-106. UNPATTI dalam /tim Fakultas Pertanian UNPATTI (Eds). Prosiding Symposium Sagu Nasional. Ambon. 12-13 Oktober, 1992.
Nurulhaq, MI.2012. Tinjauan Pustaka Tanaman Sagu. http://studiperkebunan.blogspot.com/2012/07/tinjauan-pustaka-tanaman-sagu.html diakses 15 Desember 2013.
R.B. Maliangkay,
N. Mashud, E. Manaroinsong dan
Y.R. Matana . Pengaruh
Ukuran Anakan Terhadap Pertumbuhan Bibit Sagu. Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain http://balitka.litbang.deptan.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=215%3Apengaruh-ukuran-anakan-terhadap-pertumbuhan-bibit-sagu&catid=53%3Abuletin-palma-34&Itemid=172&lang=en
Revan, D. 2011. Dapus Sagu dalam
http://inspirasimuda/2011/05/dapus-sagu.htm diakses pada 15 Desember 2013
Samarang,S. 2010. Budidaya Sagu dalam
http//google.com/budidaya-sagu-1442.html
Suyitno, E. 2011. Budidaya Tanaman Sagu dalam http//google.com/budidaya-sagu.html.
Diakses pada 15 Desember 2013
Turukay, B.1986. The Role of Sago Palm in the
Development of Integrated Farm System in Maluku Province of Indonesia. Pp 7-15
in N Yamada and K. Kainuma(Eds) Proc. The 3rd Int. Sago Symposium.
Tokyo, May 20-23 1985
Usman HF. 1996.
Informasi teknik perkembangan sagu. Materi Simposium Nasional Sagu III.
Simposium sagu dalam usaha pengembangan Agribisnis di Wilayah Lahan Basah.
Pekan Baru 22-28 Februari 1996.
Wijiastuti,S.
Bercocok tanam sagu ditulis oleh Prof.
Dr. Ir. H. M. Bintoro, MM. Agr. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor
bekerjasama dengan Universitas
Tokyo. 2008. Diakses 19 Desember 2013
mantap...
ReplyDelete